Dick Cheney, Mantan Wapres-Sang Arsitek Perang AS Meninggal Dunia

3 hours ago 4
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Dick Cheney, sosok kuat yang mendefinisikan arah politik luar negeri Amerika Serikat pascaserangan 11 September dan dianggap sebagai arsitek utama "Perang Melawan Teror," meninggal dunia pada usia 84 tahun akibat komplikasi pneumonia serta penyakit jantung dan pembuluh darah.

"Istri yang dicintainya selama 61 tahun, Lynne, bersama kedua putri mereka, Liz dan Mary, serta keluarga lainnya mendampingi saat ia berpulang," demikian pernyataan keluarga, dilansir CNN International Rabu (5/11/2025).

"Dick Cheney adalah pria hebat dan baik hati yang mengajarkan anak-anak dan cucunya untuk mencintai negeri ini, hidup dengan keberanian, kehormatan, kasih, kebaikan, dan seni memancing."

Keluarganya juga menambahkan, "Kami bersyukur tanpa batas atas semua yang telah Dick lakukan bagi negara kami, dan kami diberkati tanpa batas karena telah mencintai dan dicintai oleh sosok raksasa yang mulia ini."

Tokoh Paling Berpengaruh

Cheney menjabat sebagai Wakil Presiden ke-46 Amerika Serikat selama dua periode (2001-2009) mendampingi Presiden George W. Bush. Ia dikenal sebagai figur dominan dan berpengaruh di Washington, sosok yang memainkan peran sentral dalam kebijakan pertahanan dan keamanan AS.

Dalam pernyataan pada Selasa, Bush menyebut Cheney sebagai "pria yang layak dan terhormat".

"Sejarah akan mengingatnya sebagai salah satu pelayan publik terbaik di generasinya, seorang patriot yang membawa integritas, kecerdasan tinggi, dan keseriusan dalam setiap jabatan yang ia emban," kata Bush.

Namun, di masa-masa akhir hidupnya, Cheney justru dijauhi oleh Partai Republik karena kritik tajamnya terhadap Donald Trump, yang ia sebut sebagai "pengecut" dan "ancaman terbesar bagi republik ini".

Ironisnya, dalam pemilihan presiden terakhir yang ia ikuti pada 2024, Cheney memberikan suaranya kepada kandidat Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris, sebagai bentuk protes terhadap arah populisme Partai Republik modern yang dianggap telah meninggalkan konservatisme tradisional yang dulu ia perjuangkan.

Arsitek "Perang Melawan Teror"

Cheney berada di Gedung Putih pada pagi cerah 11 September 2001 ketika dua pesawat pembajak menabrak Menara Kembar World Trade Center di New York.

Peristiwa itu mengubah Cheney menjadi sosok yang terobsesi mencegah serangan serupa. Ia memimpin respons AS dari bunker bawah Gedung Putih dan bahkan mengeluarkan perintah luar biasa: menembak jatuh setiap pesawat yang diduga dibajak dan mengarah ke Gedung Putih atau Capitol.

Dalam atmosfer ketakutan nasional yang diwarnai ancaman serangan antraks dan penembakan acak di sekitar Washington, Cheney menjadi simbol dari sikap keras pemerintah terhadap ancaman teror. Ia mendorong intervensi militer ke Afghanistan untuk menggulingkan Taliban, dan tak lama kemudian menekan agar AS memperluas operasi ke Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein.

Peringatan agresifnya tentang dugaan senjata pemusnah massal Irak dan hubungan dengan al-Qaeda menjadi dasar bagi invasi AS tahun 2003. Namun, laporan-laporan pascaperang menunjukkan banyak informasi intelijen yang disalahartikan atau dibesar-besarkan.

Klaim terkenalnya bahwa pelaku pembajakan 9/11 Mohamed Atta pernah bertemu pejabat intelijen Irak di Praha terbukti tidak pernah terjadi.

Namun, Cheney tetap bersikeras pada keputusannya. "Kami bertindak berdasarkan intelijen terbaik yang tersedia saat itu," ujarnya pada 2005.

Ia menolak tuduhan bahwa data telah "dimanipulasi, dilebih-lebihkan, atau dibuat-buat," menyebutnya "sama sekali tidak benar."

Warisan Kontroversial dan Kebijakan Keras

Keterlibatan Cheney dalam kebijakan penahanan tanpa pengadilan di Teluk Guantanamo dan pembenaran praktik "interogasi lanjutan", termasuk penyiksaan seperti waterboarding, memperkuat citranya sebagai pejabat tanpa kompromi. Ia membela tindakan tersebut dengan alasan bahwa "semua itu diperlukan untuk melindungi Amerika".

Namun, invasi Irak dan Afghanistan berubah menjadi konflik panjang dan berdarah, yang mencoreng reputasi AS di dunia dan memecah belah masyarakat domestik. Saat meninggalkan jabatan pada 2009, tingkat persetujuan publik terhadap Cheney hanya 31% menurut Pew Research Center.

Meski demikian, Cheney tak pernah menyesali keputusannya. "Saya akan melakukannya lagi tanpa ragu," katanya setelah laporan Senat 2014 menyebut metode interogasi brutal itu tidak efektif dan merusak citra AS. Tentang perang Irak, ia menegaskan kepada CNN pada 2015: "Itu keputusan yang benar saat itu. Saya percaya saat itu dan saya percaya sekarang."

Pada masa-masa akhir hidupnya, Cheney muncul kembali ke panggung publik bukan sebagai tokoh perang, melainkan sebagai penentang keras Donald Trump. Ia mengecam sikap Trump yang menolak hasil pemilu 2020 dan menudingnya sebagai ancaman bagi demokrasi.

Putrinya, Liz Cheney, yang saat itu menjadi anggota DPR dari Wyoming, kehilangan karier politiknya setelah menentang Trump secara terbuka.

Dari Wyoming ke Washington

Richard Bruce Cheney lahir pada 30 Januari 1941 di Lincoln, Nebraska, dan tumbuh di Casper, Wyoming. Ia sempat diterima di Yale University dengan beasiswa, namun gagal menyelesaikan studi dan sempat bekerja sebagai pekerja jalur listrik.

Setelah dua kali ditangkap karena mengemudi dalam keadaan mabuk, kekasihnya Lynne Vincent, yang kemudian menjadi istrinya, memberinya ultimatum agar memperbaiki diri. Cheney pun kembali ke sekolah, meraih gelar sarjana dan magister ilmu politik dari University of Wyoming, dan menikah pada 1964.

Karier politiknya menanjak pesat di Washington. Ia menjadi Kepala Staf Gedung Putih di bawah Presiden Gerald Ford, kemudian menjabat enam periode sebagai anggota DPR dari Wyoming dan akhirnya Menteri Pertahanan di era Presiden George H.W. Bush. Di posisi itu, ia sukses mengarahkan invasi AS ke Panama (1989) dan Perang Teluk (1991).

Setelah meninggalkan pemerintahan, Cheney menjabat CEO perusahaan energi Halliburton di Texas sebelum dipilih oleh George W. Bush untuk memimpin pencarian calon wakil presiden pada 2000, proses yang justru berujung pada dirinya sendiri menjadi pendamping Bush.

"Dalam proses itu, saya menyadari bahwa orang yang menyeleksi ternyata yang paling cocok untuk diseleksi," ujar Bush dalam dokumenter CNN President in Waiting (2020).

Cheney dikenal ahli strategi dan pengambil keputusan di balik layar. Ia memimpin gugus tugas kebijakan energi, mempertahankan kerahasiaan dokumennya hingga ke Mahkamah Agung, serta kerap berbeda pandangan dengan Bush dalam isu hak pernikahan sesama jenis, terutama setelah ia secara terbuka menyebut orientasi seksual putrinya, Mary.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Detik-Detik Serangan Drone Rusia di Kyiv, Korban Jiwa Berjatuhan

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|