Jakarta, CNBC Indonesia - Sampai hari ini, publik Indonesia masih melihat Bank Central Asia (BCA) sebagai salah satu bank swasta terbesar di Tanah Air. Namun, belum banyak orang tahu bahwa kondisi ini sebenarnya berbanding terbalik dengan situasi puluhan tahun silam.
Sejak berdiri tahun 1957, BCA merupakan bank yang operasionalnya tersendat-sendat. Di bawah Sudono Salim, manajemen tak begitu baik. Asetnya tak sampai 1 juta dollar dan pegawainya hanya 27 orang. Lalu, BCA pun hanya sanggup melayani deposito dan pembayaran dalam rupiah skala kecil.
Semua ini mencapai puncak pada 1970. Kinerja BCA makin merosot dan jika dibiarkan hampir mati dan tinggal nama. Untungnya kinerja buruk itu berubah seiring reformasi besar-besaran terjadi di tubuh BCA.
Lantas, bagaimana BCA bangkit dari kubur menjadi raja di Indonesia?
Titik balik kebangkitan BCA terjadi pada dekade 1970-an. Sosok penting di baliknya adalah bankir bernama Mochtar Riady. Pada 1975, Riady menerima permintaan pemilik BCA, Sudono Salim, untuk menjadi Direktur Utama BCA. Sebelumnya, Riady merupakan bankir ternama di Indonesia. Dia sudah mengelola tiga bank besar di Indonesia, sebelum berlabuh di BCA.
Ketika menjadi pemimpin BCA, Riady menyebut situasinya sangat kacau. Hanya ada 27 pegawai dan menurutnya "tidak mengerti perbankan." Maka, saat ditugaskan menjadi direktur BCA, tugas Riady sangat berat dan harus memulainya dari nol.
Seperti diceritakan dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), satu-satunya kunci kesuksesan BCA di bawah Riady adalah relasi dan gurita bisnis Salim. Kala itu, Salim sudah punya gurita bisnis besar di sektor pangan, konstruksi, dan tembakau. Setiap tahun, ketiganya memiliki transaksi besar imbas besarnya ketergantungan masyarakat atas produk-produk Salim.
Pada titik ini, Riady memiliki ide agar semua transaksi perusahaan menggunakan BCA. Jadi, Riady ingin menjadikan BCA sebagai mitra perbankan perusahaan-perusahaan Salim, antara lain Bogasari, Indocement, dan perusahaan rokok Salim. Akhirnya, delapan bulan setelah menjadi direktur, aset BCA bertambah.
"Pertumbuhan aset BCA dari Rp998 juta menjadi Rp12,8 miliar, ini 8 bulan setelah Riady masuk," tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016).
Bersamaan itu, Riady melakukan pembenahan manajemen dan operasional. Dalam autobiografi Manusia Ide (2015), dia bercerita langkah awal memperbaiki sistem bank adalah lewat merapikan arsip-arsip. Selama ini, arsip dan pembukuan bank selalu tercecer. Maka, dia pun melakukan tata laksana penyimpanan arsip dengan baik.
Selain itu, dia juga merekrut banyak karyawan yang mengerti perbankan. Lalu, dia juga rela merogoh kocek perusahaan untuk melakukan komputerisasi. Saat itu, banyak pihak menganggap komputerisasi mahal dan dianggap belum perlu. Namun, Riady tetap ngotot melakukan komputerisasi di BCA guna menunjang operasional.
Setelah beres mengurusi manajemen dan mitra, tahun-tahun setelahnya, Riady melakukan inovasi. Berbagai inovasi tersebut menjadi serba pertama di Indonesia. BCA menjadi bank pertama yang menyediakan kartu kredit, layanan tabungan, dan mesin ATM di Indonesia.
Semua itu praktis membuat nasabah dan aset BCA makin bertambah. Tak butuh waktu lama, pada dekade 1980-an, BCA langsung melesat ke papan atas bank swasta terbesar di Indonesia sampai sekarang.
Ketika BCA sudah besar, Mochtar Riady memutuskan mengundurkan diri pada 1991. Tak lama setelahnya, Riady memutuskan membangun bank yang dibuatnya, yakni Lippo Bank. Tujuh tahun kemudian, Salim pun terpaksa kehilangan BCA imbas krisis ekonomi 1997/1998. Kini, setelah dimiliki Salim, BCA berada di kendali Djarum.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Daya Beli Anjlok - Literasi Rendah, Tantangan Dana Pensiun 2025
Next Article BCA Finance dan BCA Multi Finance Resmi Merger, Ini Nasib Nasabahnya