Gerindra Jateng Berharap Partai-Partai Dukung Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

1 hour ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sekretaris DPD Partai Gerindra Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Heri Pudyatmoko atau Heri Londo, mengatakan, sesuai dengan sikap partainya, dia mendukung wacana pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Dia berharap, partai-partai lain dapat mengambil sikap serupa dengan Gerindra terkait wacana tersebut.

"Seperti yang disampaikan Sekjen (Gerindra), kami sangat mendukung munculnya wacana (kepala daerah dipilih DPRD). Syukur kalau teman-teman partai lain bisa menyepakati bersama," kata Heri ketika diwawancara di Kantor DPRD Provinsi Jateng, Kota Semarang, Selasa (30/12/2025).

Menurutnya, semua partai perlu berperan dalam memastikan kepala daerah yang menjabat adalah figur berkualitas. "Verifikasi terhadap pemimpin kan juga penting hari ini. Apakah dengan model terbuka itu akhirnya menghasilkan pemimpin yang berkualitas? Ini PR kita bersama," ucap Heri yang kini juga tengah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Jateng.

"Walaupun ini sebuah wacana, dan kita pun tidak boleh terus, 'Harus begini', tidak. Ini kan sebuah wacana yang juga kita gulirkan," tambah Heri.

Dia menerangkan, terdapat beberapa alasan mengapa Gerindra mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Salah satunya adalah biaya yang harus dikeluarkan negara untuk menghelat pilkada langsung. "Anggaran ini dahsyat. Habisnya luar biasa besarnya," ujarnya.

Selain anggaran negara, Heri, yang kini juga tengah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Provinsi Jateng, berpendapat, ongkos politik paslon yang berkontestasi dalam pilkada juga terus melambung. "Ini muncul sebuah kultur di masyarakat, pesta rakyat (pemilu) dimaknai dengan pesta, bagi-bagi duit," kata Heri.

Menurutnya, meski ada Bawaslu, praktik politik uang tetap marak ketika pemilu, termasuk pilkada. "Sehingga menurut saya banyak faktor negatifnya. Artinya dengan pemilihan melalui mekanisme DPRD bisa menekan," ucapnya.

Heri berpendapat, tingginya ongkos politik bagi paslon yang berkontestasi dalam pilkada turut memunculkan risiko korupsi ketika mereka terpilih. Dia mencontohkan, di Jateng, paslon harus menyiapkan serta mengucurkan biaya puluhan hingga ratusan miliar rupiah untuk kebutuhan kampanye dan lainnya.

"Kalau kita ngomong di Kudus, misalnya, habis berapa itu? Kalau kita gabung (ongkos politik) antara dua calon, itu di atas Rp 150 miliar. Dan trennya naik dan naik terus. Kalau dulu, Rp 60 miliar itu sudah tinggi sekali," ujar Heri.

Dia mengungkapkan, pada Pilkada 2020, paslon yang berkontestasi di Kabupaten Pekalongan menjadi yang terbesar ongkos politiknya. "Itu mungkin sekitar Rp60 sampai Rp 70 miliar dari satu paslon. Kendal sekitar Rp 40-an miliar. Kemarin, (Pilkada) Kudus dicek saja, hampir di atas Rp 100 (miliar) satu paslon," katanya.

Berdasarkan hal tersebut, Heri menilai, kepala daerah yang terpilih berpeluang melakukan korupsi. Menurut Heri, pemilihan kepala daerah melalui DPRD tak mengkhianati prinsip demokrasi.

"Kalau kita bicara Undang-Undang Dasar 1945, kita ngomong Pancasila, kita lihat saja bunyi sila keempat apa? Perwakilan kan? Kan sama. Kalau kita bicara zaman dulu, zaman Pak Karno, misalnya, apakah itu bukan demokrasi? Kan juga demokrasi," ucap Heri.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|