Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah rencananya akan menaikkan tarif iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) pada 2026. Hal ini menyusul dengan penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada Juli 2025. Selain itu, besaran iuran BPJS Kesehatan belum disesuaikan dalam lima tahun terakhir.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pun menegaskan pentingkan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan saat ini, setelah lima tahun terakhir sejak 2020 tidak mengalami kenaikan. Padahal, belanja kesehatan masyarakat kata dia terus naik dari tahun ke tahun dengan kisaran 15%.
"Sama aja kita ada inflasi 5%, gaji pegawai atau menteri tidak boleh naik selama 5 tahun, itu kan agak menyedihkan juga kalau kita bilang ke karyawan atau supir kita gak naik 5 tahun padahal inflasi 15% kan enggak mungkin," ucap Budi di DPR, dikutip Senin (17/2/2024).
"Ini memang bukan sesuatu yang populer, tapi somebody harus ngomong itu kalau enggak nanti di ujung-ujungnya meledak, kaget, bahaya. Lebih baik kita jujur bilang dengan keniakan kesehatan 10-15% per tahun sedangkan tarif BPJS enggak naik 5 tahun itu kan enggak mungkin, jadi harus naik," tegasnya.
Menurut Budi, belanja kesehatan masyarakat saat ini pun kenaikannya telah lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB). Pada 2023, total belanja kesehatan mencapai Rp 614,5 triliun atau naik 8,2% dari 2022 yang senilai Rp 567,7 triliun. Sebelum periode Covid-19 pun pada 2018 belanja kesehatan naik 6,2% dari Rp 421,8 triliun menjadi Rp 448,1 triliun.
Budi menegaskan, kenaikan belanja kesehatan yang sudah melampaui pertumbuhan PDB Indonesia yang hanya di kisaran 5% selama 10 tahun terakhir itu tidak sehat. "Kita hati-hati bapak ibu bahwa pertumbuhan belanja nasional itu selalu di atas pertumbuhan GDP, itu akibatnya tidak sustain bapak ibu," ungkap Budi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti ikut buka suara ihwal rencana pemerintah menaikkan tarif iuran jaminan kesehatan nasional yang akan naik pada 2026. Menurutnya, tarif iuran BPJS Kesehatan itu hingga kini masih dalam pembahasan multipihak.
Ia menuturkan, penyesuaian tarif iuran BPJS Kesehatan sudah saatnya disesuaikan atau mengalami perubahan karena biaya layanan kesehatan untuk pengobatan juga terus naik dan terus menguras pendapatan iuran BPJS Kesehatan, yang tercermin dari makin bengkaknya rasio beban jaminan terhadap pendapatan iuran.
Pada 2024, persentase beban jaminan terhadap pendapatan iuran telah mencapai 105,78% dengan rincian pendapatan iuran BPJS Kesehatan hanya senilai Rp 165,34 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan telah mencapai Rp 174,90 triliun.
Angka ini naik dari catatan pada 2023 yang persentase beban terhadap pendapatannya sebesar 104,72%, dengan rincia pendapatan iuran masih senilai Rp 151,7 triliun sedangkan beban jaminan kesehatannya sebesar Rp 158,85 triliun. Pada 2022 bahkan pendapatan iuran Rp 144,04 triliun, lebih tinggi dari beban jaminan kesehatan yang sebesar Rp 113,47 triliun.
"Nah lama-lama kalau kesadaran masyarakat terhadap pola perilakunya, pola demografi, dan pola penyakitnya mahal-mahal kan enggak cukup suatu ketika, harus disesuaikan. Nah yang dibahas ini kira-kira 2026 mulai naik apa enggak," kata Ghufron.
Menurut Ghufron, untuk penyakit non infeksi atau degeneratif pun hingga kini makin mahal dari tahun ke tahun, seperti penyakit jantung hingga gagal ginjal. Maka, jika tidak ada antisipasi untuk mengamankan aliran dana atau cashflow BPJS Kesehatan, pendapatan iuran tidak akan mampu mengimbangi beban jaminan.
"Nah kita kan bikin beberapa skenario untuk itu sehingga nanti dipertanyakan kira-kira kesiapannya seperti apa paling tidak untuk 2026. 2025 kami pastikan dana jaminan sosial itu sehat tapi nanti suatu ketika tidak sehat," tegasnya.
Besaran Iuran Saat Ini
Saat ini, peraturan mengenai iuran yang berlaku masih sama dengan aturan lama, yaitu Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022. Dalam ketentuan iuran Perpres 63/2022, skema perhitungan iuran peserta terbagi ke dalam beberapa aspek. Pertama ialah bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan yang iurannya dibayarkan langsung oleh Pemerintah.
Kedua, iuran bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% dibayar oleh peserta.
Ketiga, iuran bagi peserta PPU yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 5% dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% dibayar oleh Peserta.
Keempat, iuran untuk keluarga tambahan PPU yang terdiri dari anak keempat dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
Kelima, iuran bagi kerabat lain dari PPU seperti saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dan lainnya, peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) serta iuran peserta bukan pekerja ada perhitungannya sendiri, berikut rinciannya:
1. Sebesar Rp 42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
- Khusus untuk kelas III, bulan Juli - Desember 2020, peserta membayar iuran sebesar Rp 25.500. Sisanya sebesar Rp 16.500 akan dibayar oleh pemerintah sebagai bantuan iuran.
- Per 1 Januari 2021, iuran peserta kelas III yaitu sebesar Rp 35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp 7.000.
2. Sebesar Rp 100.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
3. Sebesar Rp 150.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
Keenam, iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, ditetapkan sebesar 5% dari 45% gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 tahun per bulan, dibayar oleh Pemerintah.
Dalam skema iuran terakhir yang termuat dalam Perpres 63/2022 pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 setiap bulan. Tidak ada denda keterlambatan pembayaran iuran terhitung mulai tanggal 1 Juli 2016. Denda dikenakan apabila dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan diaktifkan kembali, peserta yang bersangkutan memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap.
Berdasarkan Perpres 64/2020, besaran denda pelayanan sebesar 5% dari biaya diagnosa awal pelayanan kesehatan rawat inap dikalikan dengan jumlah bulan tertunggak dengan ketentuan:
1. Jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan.
2. Besaran denda paling tinggi Rp 30.000.000.
3. Bagi Peserta PPU pembayaran denda pelayanan ditanggung oleh pemberi kerja.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Menkes Bocorkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di 2026
Next Article BPJS Kesehatan Uji Coba Layanan Telekonsultasi Lewat Video