Kapal Induk Garibaldi, Langkah Strategis atau Beban bagi TNI AL?

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting*

Ketika wacana Indonesia akan membeli kapal induk Giuseppe Garibaldi (C551) dari Fincantieri, Italia mencuat ke publik, banyak pihak menilai langkah ini sebagai lompatan besar dalam sejarah kekuatan maritim nasional. Jika terwujud, Indonesia akan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memiliki kapal induk, sebuah simbol nyata kekuatan laut dan kemampuan proyeksi udara di samudra.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Namun di balik kebanggaan tersebut, muncul pula pertanyaan kritis: apakah kapal yang sudah berusia hampir empat dekade itu masih layak digunakan? Apakah justru akan menjadi beban berat bagi keuangan dan operasional TNI Angkatan Laut?

Kapal induk ringan

Giuseppe Garibaldi (C551) adalah kapal induk ringan milik Angkatan Laut Italia (Marina Militare) yang diluncurkan pada 1983 dan mulai bertugas pada 1985. Kapal ini resmi dipensiunkan pada Oktober 2024, setelah lebih dari 39 tahun beroperasi.

Dengan panjang sekitar 180 meter dan bobot penuh 14.000 ton, Garibaldi bukanlah kapal induk super seperti kelas Nimitz milik Amerika Serikat. Kapal ini dirancang sebagai kapal pembawa helikopter dan pesawat STOVL (short take-off and vertical landing) seperti AV-8B Harrier. Ia mampu membawa kombinasi sekitar 12–16 pesawat dan helikopter di hangar serta dek penerbangan yang dilengkapi ski-jump kecil di haluan.

Mesinnya digerakkan oleh empat turbin gas General Electric LM2500 dengan kecepatan maksimum di atas 30 knot. Dengan daya jelajah hingga 7.000 mil laut, Garibaldi cukup lincah untuk kelasnya. Namun tentu, usia hampir 40 tahun menandakan bahwa sistem kapal ini tidak lagi muda.

Nilai strategis

Bagi Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan laut dan udara ke wilayah-wilayah terpencil sangatlah penting. Dalam konteks ini, Giuseppe Garibaldi bisa memberi beberapa manfaat strategis:

Pertama: simbol daya Laut dan kehadiran di samudra.

Kapal induk bukan sekadar alat tempur, melainkan simbol “kekuatan hadir” (power projection). Kehadiran kapal sebesar ini di perairan Asia Tenggara akan menunjukkan kemampuan Indonesia menjaga kedaulatan laut dan memantau wilayah maritim strategis seperti Natuna atau Selat Malaka.

Kedua: platform serbaguna untuk operasi non-perang.

Rencana Indonesia tampaknya lebih mengarah pada penggunaan non-tempur: patroli laut jarak jauh, operasi kemanusiaan, serta pengoperasian drone udara dan laut dari dek kapal. Dengan konversi sistem penerbangan, Garibaldi dapat menjadi kapal induk drone pertama di kawasan.

Ketiga: biaya akuisisi lebih rendah.

Dibanding membangun kapal induk baru yang bisa menelan biaya miliaran dolar, pembelian kapal bekas seperti Garibaldi relatif murah. Pemerintah Italia bahkan menawarkan refit (modernisasi) besar agar kapal siap digunakan. Nilai investasi yang disebut-sebut mencapai sekitar 450 juta dolar AS (Rp 7,47 triliun), masih jauh lebih rendah daripada membangun kapal induk baru.

Tantangan dan risiko besar

Meski terlihat menarik di atas kertas, realitas operasionalnya tidak sederhana. Ada tiga tantangan besar yang tak boleh diabaikan.

Pertama: faktor usia dan kelelahan material.

Dengan usia mendekati 40 tahun, Garibaldi sudah melewati masa pakai ideal kapal induk ringan. Meski telah beberapa kali menjalani overhaul besar, struktur lambung, sistem mesin, hingga kabel dan radar telah mengalami degradasi alami. Italia sendiri memensiunkannya bukan karena tidak berfungsi, melainkan karena biaya perawatannya semakin tinggi.

Tanpa refit menyeluruh, risiko kegagalan sistem akan meningkat. Mulai dari kebocoran lambung, gangguan mesin, hingga masalah keselamatan awak.

Kedua: biaya operasional dan pemeliharaan.

Kapal besar berarti biaya besar. Operasional harian mencakup bahan bakar turbin gas, logistik, gaji awak, pemeliharaan dek penerbangan, radar, senjata, serta pasokan bahan bakar pesawat (JP-5/avtur). Estimasi kasar menyebut biaya operasional tahunan bisa mencapai puluhan juta dolar AS, belum termasuk modernisasi sistem.

Tantangan lain adalah ketersediaan suku cadang. Karena kapal ini dibuat di Italia dengan sistem Eropa, Indonesia harus membangun rantai pasok baru, melatih teknisi, dan menyiapkan infrastruktur pemeliharaan yang kompatibel.

Ketiga: kapabilitas tempur terbatas.

Dalam konteks peperangan modern, Garibaldi tergolong kapal dengan kemampuan terbatas. Sistem pertahanan udaranya sudah ketinggalan dibandingkan kapal induk baru yang dilengkapi rudal modern dan radar AESA. Pesawat tempur STOVL seperti Harrier sudah tidak diproduksi lagi, sementara F-35B yang kompatibel memiliki harga fantastis. Dan, AS belum tentu mau menjual ke Indonesia.

Tanpa dukungan armada pengawal lengkap (destroyer, fregat, kapal selam, kapal tanker), Garibaldi akan sangat rentan terhadap rudal anti-kapal dan serangan udara modern.

Efektivitas di masa damai dan perang

Di masa damai Garibaldi justru akan sangat efektif digunakan untuk operasi militer selain perang (OMSP). Misalnya: patroli keamanan laut jarak jauh, dukungan logistik dan pengangkutan cepat, pusat komando laut dalam operasi kemanusiaan (seperti bencana alam), pangkalan bergerak untuk drone dan helikopter di wilayah terpencil.

Fungsi-fungsi tersebut relevan dengan karakter geografis Indonesia dan bisa menjadi batu loncatan menuju kemampuan kapal induk modern di masa depan. Dalam situasi perang konvensional melawan kekuatan besar, efektivitas Garibaldi akan sangat terbatas.

Kapal ini tidak dirancang untuk menghadapi rudal hipersonik, peperangan elektronik canggih, atau ancaman bawah laut modern. Namun, sebagai kapal komando dan pengendali operasi udara di wilayah sendiri, ia tetap dapat memainkan peran penting bila dilindungi dengan baik oleh armada pengawal.

Baca: KSAU Ikut Jajal Penerbangan A400M yang Siap Dikirim ke Indonesia

Daru dua situasi itu, pertanyaan utama bukan sekadar “apakah kapal ini layak?” melainkan “apakah Indonesia siap mengoperasikannya?”

Mengoperasikan kapal induk bukan hanya soal memiliki kapal, tapi juga soal membangun ekosistem pendukung: dermaga khusus, infrastruktur bahan bakar, pelatihan awak kapal dan penerbang, serta integrasi dengan kapal tempur lain. Tanpa semua itu, kapal induk bisa menjadi simbol megah yang tak efisien di laut.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|