Proses mencanting yang dilakukan oleh Khibtiyah di galeri Batik Tulis Giriloyo. Kiki Luqman - Harian Jogja
Suara canting yang beradu dengan kain putih terdengar lirih di sebuah galeri batik di Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Bantul, Rabu (1/10). Berikut laporan Wartawan Harian Jogja Kiki Luqman.
Di sudut ruangan bangunan joglo, Galeri Batik Tulis Giriloyo, Ibu Khibtiyah, salah satu pembatik tulis, dengan telaten menorehkan cairan malam panas ke atas kain katun primisima. Baginya, membatik bukan sekadar pekerjaan, melainkan jalan hidup yang diwariskan sejak kecil.
Namun, zaman terus berubah. Di tengah derasnya arus batik printing yang membanjiri pasar dengan harga murah dan produksi cepat, batik tulis harus berjuang lebih keras untuk tetap berdiri.
“Cara kami bertahan adalah menjaga kualitas dan terus memberi edukasi. Karena sesungguhnya, batik itu ya yang menggunakan malam panas. Itu yang diakui UNESCO, bukan sekadar kain bergambar motif batik,” tegas Khibtiyah saat ditemui Hariajogja.com.
BACA JUGA: Batik Enom Tampilkan Koleksi Langit Senja Dalam Jogja Fashion Week 2025
Di antara upaya bertahan, inovasi juga terus dicoba. Salah satunya adalah penguatan warna dengan menggunakan malam sawit yang sedang diuji coba oleh paguyuban. Malam ini dibuat dari limbah sawit hasil olahan minyak, yang kemudian diolah kembali untuk kebutuhan membatik.
“Selama ini kita pakai parafin, getah pinus, lemak, dan sarang lebah. Tapi ketersediaannya kan kita tidak tahu sampai kapan. Sekarang kita mencoba malam sawit, lebih ramah lingkungan dan mudah diperoleh,” jelasnya.
Uji coba ini dilakukan berkat pendampingan dari pihak lain, yang mendampingi selama 10 bulan. Saat ini, komposisinya masih sekitar 55 persen malam sawit dan 45 persen malam reguler.
“Kalau nanti bisa digunakan sepenuhnya, kami berharap harganya juga tidak lebih mahal, supaya tetap terjangkau,” ujarnya.
Meski kualitas batik tulis tak tergantikan, kenyataannya pasar masih dibanjiri batik printing. Khibtiyah menyebut, banyak motif klasik seperti Parang, Kawung, hingga motif lokal Giriloyo dijiplak lalu diproduksi massal.
“Itu bukan batik, tapi tekstil bermotif batik. Sayangnya masyarakat banyak yang tidak tahu,” katanya.
Di galeri Batik Tulis Giriloyo, penjualan rata-rata mencapai 70 hingga 100 potong kain per bulan. Sebagian besar masih berupa kain ukuran 2,5 meter, dengan harga berkisar antara Rp450.000 untuk motif sederhana hingga Rp2,5 juta untuk batik dua warna yang rumit. Konsumen utama datang dari kalangan menengah ke atas, banyak di antaranya berasal dari Jakarta.
Namun, promosi digital masih menjadi tantangan. “Ibu-ibu pembatik di sini rata-rata rumah tangga, keterbatasan di dunia digital membuat pemasaran online belum optimal. Kami sebisa mungkin pakai WhatsApp atau Facebook, tapi masih sederhana,” ungkap Khibtiyah.
Panjangnya Proses, Kecilnya Upah
Di balik sehelai batik tulis, ada proses panjang yang bisa memakan waktu dua hingga empat bulan. Mulai dari memilih kain katun primisima, mencuci dan merebusnya, menggambar pola dengan pensil, menorehkan malam dengan canting, memberi isen-isen, menutup bagian tertentu dengan tembokan, hingga pewarnaan berulang kali.
BACA JUGA: 8 Alasan Kenapa Harus Bangga Menggunakan Batik
Proses pewarnaan pun harus melalui beberapa tahap perendaman, pelorotan, dan penguncian warna dengan bahan tertentu. “Yang paling lama itu ngrining, mengulang membatik setelah pewarnaan pertama. Satu kain bisa hampir sebulan di situ,” kata Khibtiyah.
Meski harga jual batik tulis bisa jutaan, upah pembatik nyatanya kecil. Dari biaya produksi sekitar Rp1,3 juta, setelah dikurangi kain, malam, dan pewarna, pembatik hanya menerima bagian kecil.
“Kadang sehari hitungannya cuma Rp20.000. Makanya anak-anak muda sekarang jarang mau meneruskan. Upah kecil, padahal tenaga dan waktunya besar,” keluhnya.
Meski begitu, semangat melestarikan batik tulis tak pernah padam. Paguyuban Batik Tulis Giriloyo kini tidak hanya menjual batik, tapi juga membuka wisata edukasi membatik. Para ibu rumah tangga menjadi pemandu wisata, mendampingi pengunjung mencoba membatik, dengan bayaran Rp35.000-Rp50.000 per sesi.
“Lumayan untuk tambahan. Jadi selain membatik, kami juga bisa dapat penghasilan dari wisata,” ujarnya.
Lebih dari sekadar menjaga warisan, di Giriloyo juga menciptakan motif baru agar generasi mendatang punya jejak untuk diteruskan. Salah satunya motif Srigunggu Wiguna, terinspirasi dari tanaman srigunggu yang dikenal sebagai bahan obat tradisional gurah. Motif ini mulai diperkenalkan sejak 2011.
“Kami ingin tidak hanya melestarikan motif lama, tapi juga meninggalkan warisan baru untuk anak cucu,” jelas Khibtiyah.
Khibtiyah sadar, batik tulis akan selalu kalah cepat dari printing, tetapi kualitas, nilai budaya, dan filosofi batik tulis tak bisa digantikan. Ia berharap ada dukungan lebih luas, baik dari masyarakat maupun pemerintah, agar batik tulis tidak hanya dipandang sebagai produk mahal, tetapi juga karya seni dan warisan bangsa.
“Kita ini sering digembar-gemborkan untuk melestarikan batik. Tapi kalau upahnya sempit, banyak yang lari ke pekerjaan lain. Kalau kita tidak menjaga, nanti batik bisa hilang dari Indonesia, digeser negara lain. Itu yang membuat kami tetap semangat, meski berat,” tuturnya.
Di akhir percakapan, Khibtiyah kembali menunduk, cantingnya menyentuh kain. Asap tipis malam panas mengepul, seakan jadi simbol perjuangan panjang batik tulis, hangat, indah, dan membekas di setiap helai kain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News