Lengkap! Keputusan Mengejutkan BI Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 5,75%

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI Rate pada Januari 2025 sebesar 25 basis points menjadi 5,75%. Keputusan ini terjadi saat nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp 16.300/US$.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Refinitiv per pukul 14.54 WIB hari ini, Rabu (15/1/2025), kurs rupiah diperdagangkan di level Rp16.320/US$ atau melemah sekitar 0,37% dibandingkan level saat penutupan perdagangan kemarin sebesar Rp 16.260/US$.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 14-15 Januari 2025 memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, hari ini.

Perry menjelaskan, keputusan ini konsisten dengan tetap rendahnya perkiraan inflasi 2025 dan 2026 yang terkendali dalam sasaran 2,5±1%, terjaganya nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental untuk mengendalikan inflasi dalam sasarannya, dan perlunya upaya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Kami dalam 2 hari ini melakukan exercise, skenario-skenario nilai tukar , kesimpulannya nilai tukar sekarang dan ke depan masih konsisten dengan nilai fundamental yaitu pencapaian inflasi dan perkembangan lainnya," kata Perry.

Perry menegaskan, data terbaru yang membuat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga BI Rate saat ini ialah adanya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat ke depan. Bahkan, ia mengubah prospek pertumbuhan ekonomi RI 2025 dari 4,8-5,6% menjadi 4,7-5,5%.

"Data-data kuartal IV dan juga berbagai hasil survei kita ke depan menunjukkan ada kecenderungan pertumbuhan ekonomi kita, khususnya di tahun 2025 dan mulai kelihatan di triwulan IV ini lebih rendah dari perkiraan, 2024 sedikit lebih rendah dari titik tengah berarti di atas 5% tapi di bawah titik tengahnya 5,1%," tegas Perry.

"2025 titik tengahnya yang 5,2% itu lebih rendah menjadi 5,1%, oleh karena itu this is the timing untuk menurunkan suku bunga supaya bisa menciptakan growth story yang lebih baik," ungkapnya.

Untuk kurs rupiah, Perry menekankan, pada Januari 2025 (hingga 14 Januari 2025) hanya melemah sebesar 1,00% (ptp) dari level nilai tukar akhir 2024. Perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang regional lainnya, seperti rupee India, peso Filipina, dan baht Thailand yang masing-masing melemah sebesar 1,20%; 1,33%; dan 1,92%.

Sementara itu, dari sisi defisit transaksi berjalan ia tegaskan juga masih akan terjaga dalam kisaran defisit 0,5% sampai dengan 1,3% dari PDB. Didukung oleh surplus neraca perdagangan berlanjut pada Desember 2024 yang tercatat 2,2 miliar dolar AS, dan aliran masuk modal asing ke instrumen keuangan domestik dengan SBN dan SRBI masing-masing hanya mencatat inflows 19 juta dolar AS dan 288 juta dolar AS pada awal tahun 2025 (hingga 13 Januari 2025).

Tekanan inflasi pun ia pastikan tak menjadi soal, karena inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) 2024 terjaga dalam kisaran sasarannya 2,5±1%, sejalan inflasi IHK Desember 2024 yang tercatat 1,57% (yoy). Perkembangan ini dipengaruhi oleh inflasi inti yang terkendali pada level 2,26% (yoy) sejalan dengan konsistensi suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI-Rate) untuk mengarahkan ekspektasi inflasi sesuai dengan sasarannya.

Perry pun memastikan, ke depan, Bank Indonesia akan terus mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga inflasi dalam sasarannya dan nilai tukar yang sesuai fundamental, dengan tetap mencermati ruang untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dinamika yang terjadi pada perekonomian global dan nasional.

Adapun untuk pertimbangan dari kondisi eksternal, ia mengatakan, divergensi pertumbuhan ekonomi dunia melebar dan ketidakpastian pasar keuangan global berlanjut. Perekonomian Amerika Serikat (AS) tumbuh lebih kuat dari prakiraan didukung oleh stimulus fiskal yang meningkatkan permintaan domestik dan kenaikan investasi di bidang teknologi yang mendorong peningkatan produktivitas.

Sebaliknya, ekonomi Eropa, Tiongkok, dan Jepang masih lemah dipengaruhi oleh menurunnya keyakinan konsumen dan tertahannya produktivitas, sementara ekonomi India masih tertahan akibat sektor manufaktur yang terbatas. Perry menyebut, prospek pertumbuhan ekonomi dunia 2025 sebesar 3,2%.

Di sisi lain, arah kebijakan Pemerintah dan bank sentral AS berpengaruh pada ketidakpastian pasar keuangan global. Kuatnya ekonomi AS serta dampak kebijakan tarif menahan proses disinflasi di AS dan berdampak pada menguatnya ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih terbatas.

Kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif mendorong yield US Treasury tetap tinggi, baik pada tenor jangka pendek maupun jangka panjang. Bersamaan dengan ketegangan geopolitik yang meningkat, perkembangan tersebut menyebabkan makin besarnya preferensi investor global untuk memindahkan portofolionya ke AS.

Indeks mata uang dolar AS naik tinggi makin menambah tekanan pelemahan berbagai mata uang dunia. Berbagai perkembangan global ini memerlukan penguatan respons kebijakan dalam memitigasi dampak rambatan global untuk tetap menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Tutup Tahun 2024, Bank Indonesia Tahan Suku Bunga di 6%

Next Article BI Rate Kembali Tetap 6,25%, Ini Alasannya!

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|