Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) mencatatkan rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) sebesar 78,4% sepanjang 2024. Itu hanya melewati tipis batas bawah Giro Wajib Minimum LDR Bank Indonesia (BI), yakni 78%-92%.
Merujuk pada laporan keuangan BCA untuk tahun 2024, posisi LDR sekarang ini akhirnya memenuhi kriteria BI, setelah dua tahun berturut-turut sebelumnya, berada jauh di bawah. Yakni, sebesar 65,2% di tahun 2022 dan 70,2% di tahun 2023.
Ini menunjukkan bahwa BCA dalam dua tahun terakhir memilih untuk tidak mengoptimalkan ruang yang dimiliki untuk berekspansi kredit. Sikap itu diambil seiring isu likuiditas telah menghantui industri perbankan dalam dua tahun terakhir juga.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa LDR rendah menunjukkan likuiditas suatu bank itu terjaga, sedangkan yang tingkatnya tinggi menunjukkan kondisi ketat. Ia kemudian mencermati saat ini LDR industri perbankan sudah mendekati level 90%. Tepatnya 87,34%, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2024.
"Artinya bagi bank-bank yang [LDR] di atas 90%, ya likuiditasnya memang harus terus diperhatikan, harus dijaga, karena likuiditas is king. Bahkan kadang-kadang ada yang bilang likuiditas is near god. Nah, itu penting sekali ya. Hampir dekat tuhan tuh buat perbankan, likuiditas sangat penting," jelas Jahja saat Paparan Kinerja BCA 2024 secara virtual, Kamis (23/1/2025).
Ia mengatakan bahwa bank dengan LDR di bawah ketentuan GWM BI itu "cukup liquid." Dengan begitu, bank itu bisa memenuhi permintaan kredit yang tiba-tiba tinggi, atau menindaklanjuti jika sewaktu-waktu ada penarikan dana dari nasabah-nasabah besar, yang mungkin ingin mengalihkan simpanannya.
Jahja kemudian mengatakan bank dengan LDR rendah tersebut belum tentu dalam keadaan "over liquid."
"Relatif," kata dia, sembari menambahkan bahwa tentunya likuiditas yang "berlebihan" itu bisa ditempatkan surat-surat berharga yang diterbitkan pemerintah seperti di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Surat Berharga Negara Ritel atau SBN ORI. Itu guna membantu kebutuhan dana pemerintah.
"Jadi artinya kalau kita partisipasi di situ, bukan kita nggak mau kerja. Artinya kita tahu government juga memerlukan funding. Ya apalagi kalau kita lihat portfolio daripada government bond itu dulunya 38% dari asing. Sekarang hanya 14%. Artinya apa? Perbankan lokal harus siap membantu dan support perkembangan atau kebutuhan APBN kita. Jadi kita harus siap untuk ambil bagian," terang Jahja.
Maka, menurut dia, keadaan bank yang over liquid itu bisa membantu negara dengan dialirkan kepada para nasabah alias debitur kredit, atau dengan menempatkannya di surat-surat berharga negara.
"Jadi tetap semuanya itu ada produktif ya. Bukannya nggak produktif," imbuh orang nomor satu di BCA itu.
Merinci laporan keuangan BCA tahun buku 2024, bank swasta terbesar RI ini memang mencatatkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang amat rendah. Yaitu, hanya 2,9% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp1.134 triliun. Sedangkan angka pertumbuhan kreditnya jauh lebih tinggi, tumbuh 13,8% yoy menjadi Rp922 triliun pada periode Desember 2024.
Di samping itu, Jahja juga mengakui ada tantangan lain terkait biaya pendanaan atau cost of fund. Bank swasta terbesar RI itu belum bisa menurunkan suku bunga deposito, walau suku bunga BI alias BI Rate sudah dipangkas dua kali. Hal itu lantaran suku bunga surat berharga negara masih tinggi, menjadi opsi yang lebih menarik bagi masyarakat untuk menempatkan dananya.
"Nah, kalau itu gap-nya [suku bunga acuan dan suku bunga SBN] masih cukup besar, maka bank juga nggak berani serta-merta menurunkan suku bunga untuk depositonya. Apalagi, apalagi ya, bank-bank yang memang membutuhkan likuiditas pasti nggak akan berani menurunkan time deposit-nya karena risikonya nasabahnya akan pindah ke government bond atau ke bank lain. Jadi memang ini merupakan salah satu pertimbangan. Jadi kita tidak serta-merta. BI Rate turun, langsung kita turunkan semua time deposit," terang Jahja.
Selain BCA, bank-bank besar RI lainnya juga mengutarakan hal yang serupa terkait persaingan perebutan dana dengan pemerintah.
Seperti Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BNI) Royke Tumilaar yang berharap keputusan pemangkasan bunga acuan domestik dapat diikuti dengan penurunan suku bunga SRBI, sehingga dapat mendorong jumlah uang beredar di RI.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) Lani Darmawan menilai kondisi likuiditas perbankan masih ketat, dan suku bunga SRBI masih relatif tinggi. Ia bilang meskipun keputusan pemangkasan BI Rate ini adalah "berita baik", tidak serta merta akan menurunkan cost of fund.
Menurut Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan, fenomena rebutan dana antara pemerintah dan perbankan memang tidak bisa dihindari.
"Iya nggak bisa dihindari. Karena tahun ini, ada Rp800 triliun utang pemerintah yang akan jatuh tempo," kata dia saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (16/1/2025) lalu.
Maka demikian, Trioksa mengatakan bank perlu menahan bunga simpanan sementara waktu, agar para nasabah tidak mengalikan simpanannya ke instrumen lain. Ia berpendapat, hal itu harus ditempuh untuk menjaga likuiditas.
Menjadi wajar pula jika bank yang memiliki likuiditas berlebih, memilih untuk menahan ekspansi kredif, atau bahkan menempatkan di instrumen yang diterbitkan pemerintah.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: BI: Perbankan "Nikmati" Guyuran Likuiditas Rp 295 Triliun
Next Article Video: Prabowo Gantikan Jokowi, Kemana Arah Penyaluran Kredit Bank?