Para peserta mengikuti pelatihan Penerapan Pendekatan Historic Urban Landscape (HUL) di The Alana Hotel & Conference Center Malioboro, Senin-Selasa (6-7/10/2025). - Harian Jogja/Lugas Subarkah
Harianjogja.com, JOGJA—Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (BPKSF) Dinas Kebudayaan DIY menggelar Pelatihan Penerapan Pendekatan Historic Urban Landscape (HUL). Kegiatan ini sebagai upaya untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan Sumbu Filosofi.
Pelatihan HUL dilaksanakan di The Alana Hotel & Conference Center Malioboro, Senin-Selasa (6-7/10/2025). Melibatkan masyarakat di sekitar kawasan pendukung atau Buffer Zone Sumbu Filosofi yang tergabung dalam Kelompok Kerja Teknis (Pokjanis), pelatihan ini juga didukung dengan kunjungan lapangan dan pengayaan materi.
Kepala BPKSF, Aryanto Hendro Suprantoro, menjelaskan Pokjanis menjadi lembaga yang sudah diakui oleh UNESCO untuk berperan operasional di lapangan. Pokjanis yang terdiri dari tokoh masyarakat, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK), karang taruna, perangkat kelurahan dan kemantren menjadi jangkar komunikasi antara kebijakan pemerintah dan Kraton kepada masyarakat.
“Pokjanis bertugas mendesiminasikan informasi yang berkembang dalam tata kelola kawasan sumbu filosofi kepada masyarakat, supaya masyarakat turut serta menjadi bagian tata kelola itu. Misalnya kebijakan UNESCO untuk menekan perubahan iklim perlu diupayakan dengan keikutsertaan masyarakat,” ujarnya.
Narasumber dari Fakultas Teknik UGM, Laretna Trisnantari Adhisakti, menyampaikan materi pertama dengan topik ‘HUL: Memadukan Pelestarian Pusaka Dengan Rencana Pembangunan Perkotaan, Pengurangan Risiko Bencana, Dan Aksi Iklim Di Tingkat Lokal’.
Ia menjelaskan HUL adalah wilayah yang dipahami sebagai hasil dari lapisan-lapisan bersejarah, nilai dan atribut budaya dan alam, melampaui gagasan pusat bersejarah atau ensambel untuk memasukkan konteks wilayah yang lebih luas dan tata letak geografisnya.
“Hal ini berbeda dengan paradigma lama yang fokus pada pemahaman sempit tentang monumen dan situs. Pelestarian kota pusaka, atau bagian kota tertentu yang dikunci, terpisah atau mengisolasi area pusaka secara virtual sebagai bagian museum yang terpisah dari struktur perkotaan lainnya dan tidak memiliki keberlanjutan,” ungkapnya.
HUL menawarkan pentingnya dialog mulai dari para professional seperti perencana kota, perancang kota, ahli pusaka di semua bidang dan instrumen hukum serta personel pemerintah nasional dan lokal. Dialog tersebut harus interdisipliner untuk menghargai betapa berlapisnya pengalaman budaya yang mempengaruhi persepsi saujana pusaka.
Narasumber kedua yang juga dari Fakultas Teknik UGM, Dyah Titisari Widyastuti, menyampaikan materi Memahami dan Mendata Berbagai Lapisan Pusaka Perkotaan. Ia menuturkan dalam kawasan perkotaan, ada tiga kompopnen besar di dalamnya yakni bangunan, alam dan budaya-sosial.
“Memahami lapisan kota, kota selalu dinamis beruhan cepat. Kota bersejarah merupakan produk layer bersejarah, masa Mataram Kuno seperti apa, kolonial seperti apa, kita bisa melihat berbeda di setiap periode. Kota bersejarah semua punya peran membentuk layer,” katanya.
Hul sangat sesuai diterapkan di Indonesia karena mensinergikan pelestarian pusaka budaya dan pengembangan kota berkelanjutan. Lapis-lapis di saujana akan memberikan gambaran kondisi eksisting kota pusaka pada masing-masing periode.
Narasumber ketiga dari Fakultas Teknik UGM, Dwita Hadi Rahmi, mengatakan masyarakat menjadi sslaah satu pemangku kepentingan dalam pengelolaan Sumbu Filosofi. “Masyarakat menjadi penguasa dari kawasan itu yang mendapatkan tugas mendukung keberlangsungan cosmological axis area,” ungkapnya.
Maka masyarakat yang terlibat perlu mengidentifikasi nilai-nilai kunci. Kedua, mengembangkan visi yang mencerminkan keragaman mereka. Ketiga menetapkan tujuan dan tindakan untuk melindungi pusaka sesuai visi. Keempat, turut mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
“Perlu fasilitas untuk dialog antar budaya untuk belajar dari masyarakst tentang sejarah, tradisi, nilai lokal, kebutuhan dan aspirasi, juga memfasilitasi mediasi dan negosiasi antar kelompok yang memiliki konflik kepentingan,” kata dia.
Kunjungan lapangan dilakukan pada hari pertama, salah satunya di Ketandan, kawasan heritage pecinan di Malioboro. Salah satu peserta pelatihan, Mudji Rahardjo, anggota Pokjanis Suryodiningratan, mengatakan dari kunjungan lapangan ini didapatkan informasi adanya dinamika yang terjadi pada Buffer Zone kawasan Sumbu Filosofi.
“Ada perubahan-perubahan yang dulu ada sekarang ga ada, atau yang dulu ga ada sekarang ada. Misalnya di belakang Toko Ramai yang dulu ada Perkumpulan Urusan Kematian Yogyakarta [PUKY] dan perkumpulan Liong, sekarang sudah pindah. Sekarang ada Gereja Kalam Kudus yang dulu tidak ada,” ujarnya.
Dari kegiatan ini, Pokjanis mendapat banyak pengetahuan dan wawasan terkait Sumbu Filosofi dan kawasan pendukungnya untuk dibagikan ke masyarakat di wilayahnya. “Masyarakat walau sering lewat situ tapi kan ga tahu. Tugas Pokjanis menularkan kepada warga untuk lebih mengenal sumbu filosofi,cara menjaganya dan melestarikannya,” katanya. (***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News