Jakarta, CNBC Indonesia - Muncul fenomena masyarakat mulai meninggalkan minyak goreng kemasan sederhana merek pemerintah, Minyakita. Hasil pantauan CNBC Indonesia, para pedagang gorengan lebih memilih kembali ke minyak goreng curah, sementara konsumen rumah tangga mulai beralih ke minyak kemasan premium.
Menurut keterangan para pedagang sembako, banyak penjual gorengan meninggalkan Minyakita karena minyak ini lebih mudah terserap ke dalam makanan, sehingga penggunaannya lebih boros dibandingkan minyak curah.
Selain itu, muncul isu adanya Minyakita "KW" atau tiruan juga membuat masyarakat semakin enggan menggunakannya.
Menanggapi fenomena itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengungkapkan, kualitas Minyakita dan minyak goreng curah sebenarnya identik, dengan titik pengkabutan atau Cloud Point (CP) 8-10 derajat Celcius.
Adapun jika Minyakita, lanjutnya, ditemukan lebih banyak terserap ke dalam gorengan, ada kemungkinan minyak tersebut tidak memenuhi standar.
"Ini bisa terjadi jika minyak yang beredar merupakan hasil daur ulang dari minyak jelantah yang dibersihkan atau hasil oplosan," ungkap Sahat kepada CNBC Indonesia, Rabu (19/2/2025).
Ia pun menyarankan agar masyarakat saat membeli minyak goreng kemasan memeriksa dulu kemasan produk, memastikan ada izin edar dan nomor BPOM, serta mengetahui siapa produsennya untuk menghindari produk yang tidak jelas asal-usulnya.
"Kalau keterangan mereknya tidak jelas, itu merupakan minyak goreng hasil oplosan," jelasnya.
Penyebab di Balik Harga Minyakita Mahal Lampaui HET
Selain kualitas, harga Minyakita yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) juga menjadi permasalahan utama beberapa waktu belakangan ini. Seharusnya, kata Sahat, harga Minyakita dijual Rp15.700 per liter sesuai HET. Namun ternyata di lapangan harganya bisa mencapai Rp18.000 per liter, dengan harga CPO sebagai bahan baku di angka Rp14.900 per kg.
Sahat menuding adanya permainan di rantai distribusi yang menyebabkan lonjakan harga ini.
"Yang terjadi di lapangan adalah ketamakan agen, pedagang, atau ritel yang menjual Minyakita ke para pengemas ulang. Mereka mengemas ulang dan menjualnya dengan merek lain, sehingga mendapatkan keuntungan Rp1.500 hingga Rp2.000 per liter," ungkap dia.
Akibatnya, Minyakita tidak lagi sampai ke tangan konsumen yang seharusnya menjadi target utama, yaitu ibu rumah tangga dan pelaku usaha kecil seperti pedagang gorengan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Sahat menilai distribusi Minyakita harus melibatkan BUMN pangan seperti Bulog dan ID Food.
Selain itu, perlu adanya pengawasan ketat di lapangan. Jika ditemukan Minyakita dijual kepada pihak yang tidak berhak, seperti pihak pengemas ulang atau pedagang non-warung makan, sanksi tegas harus diberlakukan. Bahkan, ia mengusulkan agar pelanggaran ini dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan.
"Agar Minyakita kembali ke HET, minyak tersebut disalurkan ke konsumen oleh BUMN pangan. Dan perlu ada pengawasan lapangan yang ketat, bila ada penjualan Minyakita ke non rumah tangga- non pedagang gorengan atau warung makan, dikenakan sanksi tegas, kalau boleh diberlakukan bentuk penipuan Pidana," pungkasnya.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pertamina Terima Minyak Jelantah Seharga Rp 6 Ribu Per Liter
Next Article Pantas Prabowo Minta Bulog Turun Tangan Urus Minyakita, Situasi Parah