Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengungkapkan, pandemi Covid-19 menyebabkan setidaknya 30% pengunjung alias calon konsumen mal/ pusat perbelanjaan hilang. Kondisi ini disebabkan kebijakan pembatasan aktivitas sosial yang diberlakukan pemerintah untuk menekan laju pandemi saat itu.
Hal itu, ujarnya, memperparah kondisi mal-mal atau pusat perbelanjaan di Indonesia. Akibatnya, banyak mal/ pusat perbelanjaan yang mengalami penurunan tingkat kunjungan, semakin sepi, bahkan satu per satu toko/ tenant tutup.
Alphonzus menegaskan, hal itu bukan karena bisnis sektor pusat perbelanjaan/ mal mengalami penurunan. Sebab, imbuh dia, kondisi mal sepi, terutama di Jakarta, tidak merata dialami semua mal/ pusat perbelanjaan.
Hal itu, lanjutnya, terlihat beberapa mal yang justru membeludak, terutama saat akhir pekan dan hari libur. Hingga membuat okupansi parkiran penuh, bahkan calon pengunjung sampai kesulitan mencari posisi parkir. Hal itu, jelasnya, menunjukkan bisnis pusat perbelanjaan atau mal di Indonesia tidak sedang memburuk. Namun, beberapa mal mengalami penurunan jumlah kunjungan.
Apa penyebabnya?
Kata Alphonsuz, mal-mal itu sepi karena memang pemilik/ pengelola pusat perbelanjaan tersebut tidak sigap merespons perubahan yang terjadi, terutama dalam menangkap kebutuhan masyarakat.
"Mal sekarang itu tidak bisa lagi hanya sekedar berfungsi sebagai tempat belanja. Tidak bisa lagi hanya berfungsi sebagai shopping talk. Tidak bisa. Jadi harus diberikan fungsi lain daripada pusat perbelanjaan, yaitu adalah customer experience. Customer journey. Nah, mal-mal ini harus bisa segera merubah dirinya supaya tidak hanya sekedar berfungsi sebagai tempat belanja. Tapi harus ada fungsi customer experience tadi. Kalau ini tidak bisa, maka akan ditinggalkan oleh pelanggannya begitu," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (19/2/2025).
Kondisi itu diperburuk munculnya Pandemi Covid-19. Membuat mal praktis tutup alias tidak beroperasi.
"Akhirnya bagaimana? Customer, masyarakat-masyarakat kan berbelanja dengan online. Sama sekali tidak datang ke pusat perbelanjaan karena dilarang. Nah, ada beberapa pelanggan, customer pada saat Covid sudah mereda, pada saat PPKM sudah dicabut, ada sebagian konsumen yang tidak kembali ke pusat belanja karena sudah terbiasa belanja online," terangnya.
"Kami di asosiasi memperkirakan ada 30% konsumen yang tidak kembali ke pusat perbelanjaan. Jadi belanjanya tetap dengan online gitu. Nah, bagaimana kita, pusat belanja ini, bagaimana menarik yang 30% ini? Supaya bisa kembali ke pusat perbelanjaan," sambung Alphonsuz.
Rahasia Mal Tak Sepi Bak Kuburan, Ini Kuncinya
Karena itu, ujarnya, mal atau pusat perbelanjaan harus fokus untuk menarik kembali pengunjung mal yang hilang sejak Pandemi Covid-19.
"Jadi saya kira ini yang harus diperhatikan bahwa intinya adalah fungsi dari pusat perbelanjaan. Fungsi pusat perbelanjaan saat ini bukan lagi hanya sekedar sebagai tempat belanja. Saya kira itu kuncinya. Kita mau menarik mereka yang 30% tapi dengan fungsi belanja saja berarti kan akan bertarung langsung dengan online," sebutnya.
"Jadi pertama kita harus sepakati dulu bahwa fungsi pusat perbelanjaan sekarang bukan lagi hanya sekedar tempat belanja. Harus ada fungsi lain yaitu fungsi experience, customer journey, customer experience. Saya rasa itu yang harus diberikan," imbuh dia.
Mal-mal atau pusat perbelanjaan yang berhasil memenuhi kebutuhan konsumen, tidak terpaku hanya sebagai tempat belanja tanpa memberikan customer experience, imbuh dia, akhirnya mampu menarik pengunjung atau calon konsumen. Mal tersebut menjadi ramai, bahkan membeludak karena mendapat pengalaman yang tidak diperoleh saat belanja online.
Pun begitu, Alphonsuz mengingatkan, strategi itu tidak mutlak berlaku selamanya. Sebab, imbuh dia, customer experience, customer journey bisa berubah setiap saat. Karena sangat identik dengan dengan gaya hidup. Pusat perbelanjaan, ujarnya, harus dapat berfungsi memberikan kebutuhan pelanggan (customer).
"Gaya hidup ini kan selalu berubah setiap saat. Apalagi dunia sekarang sudah demikian terbuka dengan sosial media dan sebagainya. Jadi apalagi di kota-kota besar, gaya hidup masyarakat cepat sekali berubah. Nah ini, ini harus bisa punya kemampuan untuk menganalisa itu. Sekarang ini yang di customer experience, customer journey yang diperlukan oleh masyarakat saat ini itu adalah koneksi sosial," jelasnya.
"Kenapa koneksi sosial? Karena itulah yang dilarang pada saat Covid. Pada saat pandemi, boleh berinteraksi sosial tapi virtual. Nah, jadi yang dibutuhkan sekarang itu apa? Interaksi sosial yang bukan di dunia maya. Itulah yang harus diberikan oleh pusat perbelanjaan kepada customer-nya. Karena masyarakat itu butuh, butuh, butuh interaksi sosial tadi yang bukan di dunia maya, begitu," sebut Alphonsuz.
Dia memaparkan, customer experience yang dibutuhkan pengunjung/ calon konsumen bisa dihadirkan lewat 2 faktor utama. Pertama, konsep gedung. Yaitu, konsep mal itu sendiri memberikan pengalaman tersendiri bagi pengunjung.
Kedua, tenancy mix. "Tenancy mix itu campuran daripada penyewanya. Tadi disebut, permainan anak lah, musala lah, segala macam. Ini adalah bagian dari tenancy mix. Tenancy mix-nya itu bauran penyewanya harus lengkap, harus bervariasi. Inilah yang menimbulkan experience, menimbulkan customer journey, begitu," ucapnya.
"Jadi, semakin banyak permainan anak-anak, semakin banyak kafe, restoran, tempat ngobrol. Manusia itu kan makhluk sosial. Demen sekali, suka dia berkumpul. Dan budaya Indonesia sama, suka berkumpul. Kita lihat kalau di weekend, hari libur di restoran, ada kakak, ada adik, ada mertua, ada kakek, nenek, semua kumpul makan sama-sama dan sebagainya. Inilah yang harus bisa diberikan oleh pusat perbelanjaan. Anaknya bisa bermain di tempat permainan anak-anak. Bisa nonton, bisa cari hiburan, bisa olahraga, segala macam," kata Alphonsuz.
Mal atau pusat perbelanjaan, kata dia, harus siap dengan perubahan yang ada. Termasuk kebutuhan konsumen. Pandemi Covid-19, ujarnya, harus jadi pelajaran. Sebab, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi 1, 10, atau 100 tahun lagi.
"Kalau tidak bisa merespons ini, ya banyak yang semakin sepi, banyak yang tutup, dan sebagainya. Saya kira itu yang terjadi," pungkass Alhonsuz.
Foto: CEO Retail & Hospitality NWP Property dan Ketua UMUM APPBI, Alphonzus Widjaja dalam program CNBC Indonesia Property Point. (CNBC Indonesia TV)
CEO Retail & Hospitality NWP Property dan Ketua UMUM APPBI, Alphonzus Widjaja dalam program CNBC Indonesia Property Point. (CNBC Indonesia TV)
(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Jaya di Masa Lalu, Banyak Mal di Jakarta Sepi Bak "Kuburan"
Next Article Kelas Menengah RI Bikin Mal Sepi-Beli Barang Murah, Ini Biang Keroknya