Peledakan SMAN 72, Balas Dendam Korban Perundungan?

4 hours ago 3

Oleh : Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi dan Dosen Sosiologi Anak di FISIP Universitas Airlangga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta benar-benar mengejutkan banyak pihak. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa untuk belajar, tiba-tiba berubah menjadi bencana. Peledakan yang terjadi di SMAN 72 menyebabkan 96 siswa dan guru terluka. Kepolisian saat ini dilaporkan sedang melakukan pendalaman untuk menguak apa sebetulnya yang terjadi di balik peledakan SMAN 72 Jakarta.

Dugaan sementara, pelaku adalah salah satu siswa SMAN 72 itu sendiri. Pelaku diduga adalah seorang siswa berusia 17 tahun yang dikenal pendiam. Rumor yang berkembang, pelaku adalah korban perundungan. Meski modus yang dilakukan pelaku seperti aksi terorisme, tetapi tindakan pelaku dinilai bukan bagian dari jaringan terorisme. Tindakan pelaku meledakan sekolahnya sendiri ditengarai lebih sebagai pernyataan dan aksi balas dendam pelaku karena menjadi korban perundungan.

Berbeda dengan aksi terorisme yang lebih banyak didasari keyakinan dan ideologi yang kuat, aksi yang dilakukan pelaku peledakan SMAN 72 diduga lebih bersifat pribadi. Mungkin saja pelaku terkontaminasi konten-konten radikal melalui media sosial yang ia akses. DI era masyarakat digital, siapapun –terlebih generasi Z—dengan mudah terpapar berbagai konten yang salah di media sosial.

Bisa saja pelaku yang dikenal sebagai siswa pendiam, memilih mengisi hari-harinya dengan berselancar di dunia maya dan kemudian terkontaminasi konten-konten radikal yang menggoda. Pada titik ia terbenam makin dalam pada konten-konten radikal, maka bisa dipahami jika kemudian hal itu memicu ia melakukan aksi yang mirip pelaku terorisme.

Korban Perundungan

Jika benar pelaku adalah korban perundungan, aksi peledakan SMAN 72 yang dilakukan pelaku sesungguhnya tidak mengejutkan. Dalam berbagai studi, korban perundungan memang lebih sering menarik diri dan menghindari pergaulan yang terlalu intens dengan teman-temannya (Suyanto dkk., 2020). Tetapi, dari sekian banyak korban perundungan, tidak jarang korban kemudian berbalik arah dan melakukan aksi balas dendam yang mengejutkan.

Di Amerika Serikat, kita sering membaca bahwa siswa yang menjadi korban perundungan, tiba-tiba membalas dendam dengan cara menembaki teman-teman sekolahnya. Selama ini, di Amerika Serikat kasus siswa korban perundungan yang melakukan aksi penembakan tidak sekali-dua kali terjadi. Di sejumlah sekolah, korban yang jatuh karena aksi korban yang balas dendam mencapai puluhan siswa lain.

Apa yang dilakukan pelaku di SMAN 72 agak berbeda. Dengan merujuk konten-konten di media sosial, pelaku diduga belajar tentang cara melakukan aksi peledakan. Apabila dugaan ini benar, aksi pelaku tampaknya tidak hanya ingin meledakkan sekolahnya, tetapi juga sekaligus ingin mengakhiri hidupnya. Bagi korban perundungan yang kronis dan tidak kuat menahan tekanan sosial yang dialami, mereka sebagian ingin menyelesaikan persoalan dengan cara instan.

Benar-tidaknya dugaan bahwa pelaku juga ingin melakukan aksi bunuh diri, tentu masih harus dikaji lebih mendalam. Tetapi, secara teoritis korban perundungan memang potensial melakukan tindakan bunuh diri untuk mengatasi beban hidupnya. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa siswa yang stress karena menjadi korban perundungan , ketika mereka tidak memiliki strategi koping yang efektif, maka mereka merasa bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar.

Korban perundungan umumnya mengalami distorsi kognitif, seperti mereka merasa tidak layak hidup atau merasa tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubah situasi. Pada saat dukungan sosial dan keluarga tidak ada atau lemah, sering terjadi korban perundungan akan mengalami depresi dan kecemasan yang berlebihan, sehingga melakukan aksi bunuh diri dianggap pilihan yang terbaik.

Korban yang mengalami trauma karena menjadi korban perundungan, mereka umumnya ketakutan dan pasrah pada nasibnya. Tetapi, bagi korban-korban tertentu, terkadang mereka tidak hanya bersikap pasif. Bisa saja korban kemudian berpikir kalau pun harus bunuh diri, mereka akan melakukan aksi balas dendam terlebih dahulu. Kasus peledakan yang terjadi di SMAN 72, bukan tidak mungkin polanya seperti ini. Pelaku yang merupakan korban perundungan, memilih melakukan aksi bunuh diri sembari mengajak musuh-musuhnya ikut sengsara.

Upaya Pencegahan

Kasus peledakan SMAN 72 bukan tidak mungkin adalah puncak gunung es dari berbagai kasus perundungan yang terjadi di berbagai sekolah. Selama ini, jujur harus diakui bahwa salah satu persoalan serius yang dihadapi siswa adalah resiko menjadi korban perundungan. Kasus ini, meski sudah menjadi perhatian Kementerian Pendidikan, tetapi dari waktu ke waktu tetap saja korban terus berjatuhan.

Untuk mencegah agar kasus peledakan SMAN 72 tidak terulang dalam bentuk apa pun, yang dibutuhkan tak pelak adalah kesediaan sekolah, guru dan orang tua untuk mengembangkan mekanisme deteksi dini yang efektif. Secara garis besar, berbagai upaya yang perlu dilakukan adalah:

Pertama, bagaimana menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi siswa. Siswa yang menghabiskan sebagian besar waktu di sekolah, tentu membutuhkan jaminan agar sekolah mampu menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman (joyfull learning). Di berbagai sekolah, seyogianya memiliki lembaga yang bersikap proaktif menghadapi siswa yang menjadi korban perundungan. Jangan sampai terjadi siswa merasa tidak terlayani dan tidak mendapatkan dukungan dari sekolah, yang beresiko siswa akhirnya memilih jalan keluarnya sendiri.

Kedua, meningkatkan kesadaran dan kesehatan mental siswa. Dalam hal ini ada baiknya jika sekolah memberikan pendidikan tentang kesehatan mental, seperti bagaimana mengelola stress, kemampuan mengembangkan pikiran yang positif, dan kemampuan mengatasi kecemasan serta depresi. Siswa yang menjadi korban perundungan biasanya menarik diri dan menjadi pendiam. Siswa yang tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai tekanan  psikologis, bukan tidak mungkin memilih mengakhiri hidupnya.

Ketiga, pengembangan sistem dukungan yang benar-benar memadai bagi siswa yang menjadi korban perundungan. Siswa di sini seyogianya memiliki akses yang bnar-benar mudah dan terbuka ke konselor atau guru BP. Siswa harus dibangun perasaan percaya hingga mereka dapat menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi –tanpa harus memendamnya sendirian. Tidak hanya ke guru BP, siswa seyogianya juga memiliki akses dan dukungan sosial dari peer-groupnya untuk menyampaikan keluhan sekaligus mendapatkan dukungan sosial.

Keempat, siswa perlu diajarkan kemampuan dan berbagai keterampilan hidup yang dibutuhkan. Siswa perlu untuk diajarkan bagaimana mengelola emosi, cara berkomunikasi yang baik, dan kemampuan untuk menghadapi serta memecahkan masalah yang dihadapi. Siswa seyogianya tumbuh sebagai siswa yang tahan banting, tangguh menghadapi berbagai tekanan karena memiliki bekal keterampilan hidup.

Untuk mengatasi berbagai persoalan dan tekanan psikologis siswa yang menjadi korban perundungan, sekaligus mencegah agar kasus ini tidak terus terjadi, yang dibutuhkan adalah kerjasama sekolah dengan orang tua, serta siswa yang menjadi pionir isu ini. Tanpa adanya kerjasama ini, jangan harap persoalan perundungan siswa akan dapat dieliminasi. Bagaimana pendapat anda?

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|