Harianjogja.com, JAKARTA—Pemerintah mengakui efektivitas investasi di Indonesia masih kalah dari Vietnam dan India, tercermin dari rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang mencapai 5,79 atau lebih tinggi dibandingkan negara pesaing di Asia.
Oleh karena itu, pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah, terutama dalam hal mengefisienkan investasi yang masuk di dalam negeri.
Deputi I Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian Ferry Irawan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia masih berada di level 5,79. Artinya, perlu investasi senilai 5,79% dari produk domestik bruto (PDB) untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi 1%.
ICOR Indonesia itu jauh lebih tinggi (efisiensi rendah) dibandingkan Vietnam dan India yang masing-masing ada di level 3,58 dan 4,56.
"Sekarang kita di 5,79, mudah-mudahan ini bisa terus kita tekan, karena melihat dengan historical yang ada, Vietnam bisa melompat tinggi growth-nya [pertumbuhan ekonominya] dengan tadi efisiensi dalam hal ICOR-nya," ungkap Ferry dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Dia mengaku pemerintah terus menggodok kebijakan untuk menurunkan ICOR. Misalnya, dengan peningkatan kepastian berusaha melalui deregulasi; peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan; insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, hingga super tax deduction (untuk Training dan R&D); dan penguatan koordinasi kementerian/lembaga
Ferry menjelaskan sejumlah kebijakan yang dikeluarkan yaitu penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis resiko lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2025.
Menurutnya, ada tiga perubahan utama dalam PP 28/2025 yaitu penerapan waktu layanan (Service Level Agreement/SLA) dalam proses penerbitan perizinan berusaha, penerapan kebijakan Fiktif-Positif, dan proses perizinan dilakukan secara elektronik melalui sistem OSS RBA (Online Single Submission Risk Based Approach).
"Ini kita harapkan juga memberikan kepastian kepada investor yang akan masuk," ujarnya.
Selain itu, relaksasi kebijakan impor karena akses terhadap bahan baku masih menjadi tantangan. Ferry menjelaskan Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 awalnya melonggarkan prosedur impor, tetapi juga mencakup produk tekstil (HS 50-63), yang akhirnya berisiko melemahkan industri dalam negeri.
Akibatnya, pemerintah memutuskan mencabut Permendag) No. 8/2024 itu dan diganti dengan Permendag No. 16/2025.
Selain itu, pengaturan impor diatur ulang berdasarkan klaster komoditas melalui Permendag No. 17 hingga No. 24/2025. Relaksasi kini hanya berlaku untuk 10 komoditas strategis, dengan pengecualian untuk produk padat karya tertentu.
Lebih lanjut, pemerintah juga menyiapkan banyak kawasan ekonomi khusus (KEK) untuk investor yang mau masuk ke Indonesia. Ferry menyampaikan bahwa sejumlah KEK sangat tematik, seperti di Gresik yang fokus untuk hilirisasi (terutama tembaga dan emas), di Singosari untuk penguatan ekosistem sektor digital, hingga di Batam untuk data center.
"Serta beberapa KEK lainnya yang tematik untuk memberikan tempat yang nyaman bagi investor untuk bisa menanamkan modalnya di Indonesia," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com


















































