Bupati Kulonprogo, RAgung Setyawan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema Penyusunan Kajian Teknis dan Hukum untuk Penetapan Tindakan/Sanksi Pelanggaran Pemanfaatan Ruang (TPPR), pada Senin (27/10 - 2025) di Aula Adikarto, Kompleks Pemkab Kulonprogo.
KULONPROGO – Pemerintah Kabupaten Kulonprogo menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Penyusunan Kajian Teknis dan Hukum untuk Penetapan Tindakan/Sanksi Pelanggaran Pemanfaatan Ruang (TPPR)”, pada Senin (27/10/2025) di Aula Adikarto, Kompleks Pemkab Kulon Progo.
Acara dibuka dengan doa yang dipimpin oleh Muhammad Fauzi, S.PWK., dengan khidmat dilanjutkan dengan sambutan dari Kepala Kantor Wilayah BPN DIY, Sepyo Achanto, S.H., M.H. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi kepada Bupati dan Wakil Bupati Kulon Progo atas dukungan dan fasilitasi dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Menurut Sepyo, kegiatan FGD ini merupakan bagian dari tahapan penting sebagaimana diatur dalam Pasal 145 Peraturan Menteri ATR/BPR terkait penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. “Hasil audit tahun 2021 menunjukkan adanya lima kategori pelanggaran di lima kalurahan dan empat kapanewon. Ini menjadi perhatian bersama agar masyarakat memahami pentingnya pemanfaatan tanah sesuai ketentuan tata ruang yang berlaku,” jelasnya.
Sepyo juga menekankan bahwa penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang bukan sekadar pemberian hukuman, melainkan bentuk kepedulian pemerintah daerah untuk mewujudkan hukum yang adil, proporsional, dan berkepastian hukum. Ia juga mengimbau agar sosialisasi mengenai pemanfaatan ruang terus dilakukan guna mencegah terjadinya pelanggaran di kemudian hari.
Sementara itu, Direktur Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang, Agus Sutanto, ST., M.Sc., dalam arahannya menyampaikan bahwa meskipun penegakan hukum tata ruang telah memiliki dasar sejak tahun 1992, efektivitas pengendalian pemanfaatan ruang di Indonesia masih perlu ditingkatkan.
“Dari hasil evaluasi, hanya 13 persen daerah yang memiliki kinerja pengendalian tata ruang efektif, sementara 87 persen lainnya masih belum optimal. Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” ujar Agus.
Agus menjelaskan bahwa lemahnya perencanaan tata ruang sering kali disebabkan oleh tidak jelasnya batas dan syarat pemanfaatan lahan. Hal ini berdampak pada sulitnya proses penindakan di lapangan. Ia menegaskan perlunya aturan yang tegas namun tetap fleksibel agar dapat menyesuaikan dengan dinamika pembangunan dan perkembangan zaman.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pengendalian ketat pada kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan rawan bencana, kawasan resapan air, serta kawasan objek vital nasional seperti bandara. “Kawasan-kawasan tersebut menyangkut keselamatan dan kepentingan hidup masyarakat luas, sehingga tidak boleh ada toleransi terhadap pelanggaran,” tegasnya.
Agus juga mengungkapkan bahwa dalam sistem perizinan berbasis Online Single Submission (OSS), masih banyak izin usaha yang belum sesuai dengan rencana tata ruang. “Dari 13 juta izin usaha di Indonesia, sekitar 60 persen tidak valid dan 52 persen melanggar ketentuan tata ruang. Oleh karena itu, pengendalian pasca izin menjadi sangat penting,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pelanggaran pemanfaatan ruang tidak dapat dibiarkan tanpa tindakan. Pengenaan sanksi administrasi maupun denda dinilai dapat menjadi sumber pendapatan daerah untuk pembangunan fasilitas publik seperti jalan dan sekolah.
Dalam kesempatan yang sama, Bupati Kulon Progo, Dr. R. Agung Setyawan, ST., M.Sc., MM., menyampaikan bahwa penertiban pemanfaatan ruang harus memiliki dasar hukum yang kuat. “Kami berterima kasih atas penyelenggaraan kegiatan ini karena membuka wawasan baru tentang pentingnya pemanfaatan lahan yang sesuai aturan,” ujarnya.
Agung juga menyoroti beberapa persoalan tata ruang di wilayah Kulon Progo, di antaranya kawasan Temon yang berada dalam radius 15 kilometer dari Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) atau kawasan Aerotropolis, serta kawasan pesisir selatan yang berpotensi menimbulkan konflik akibat pemanfaatan pasir besi.
Ia menegaskan perlunya kehati-hatian dalam penerbitan sertifikat dan izin pemanfaatan tanah di kawasan tersebut. “Kami berharap mendapatkan pendampingan dan bimbingan agar setiap kebijakan daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Jangan sampai pembangunan justru menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial,” tutur Agung.
Mengakhiri sambutannya, Bupati Agung menyampaikan pesan reflektif, “Mari kita jadikan Kulon Progo lebih baik, sejahtera, dan maju dengan kepastian hukum yang jelas. Mundur sedikit agar kita bisa melompat lebih jauh lagi,” pungkasnya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi teknis oleh dua narasumber, yakni Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D. (Ketua Program Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada) dan Dr. Damianus Krismantoro, S.H., S.M.Hum. (Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta), serta sesi diskusi interaktif yang berlangsung menarik dan konstruktif.
Acara ini dihadiri oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY, Direktur Pengendalian Pemanfaatan Tata Ruang, Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) Kulon Progo, Kepala Dinas ATR/BPR Kulon Progo, sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, serta para panewu se-Kabupaten Kulon Progo. (Advertorial)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


















































