Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengusaha di Indonesia kerap menghadapi tantangan tak terduga dalam menjalankan bisnis, salah satunya adalah pungutan liar yang dilakukan oleh kelompok organisasi masyarakat (Ormas). Praktik pemalakan ini terjadi di berbagai daerah, terutama dalam proyek-proyek pembangunan. Tak jarang, pengusaha terpaksa memenuhi permintaan tersebut demi kelancaran bisnis mereka.
Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani menyebut fenomena ini sudah lama ada dan sering menjadi kendala bagi dunia usaha. Dia pun mengungkapkan bahwa modus pemalakan beragam, tergantung pada situasi dan proyek yang sedang berjalan. Salah satu yang paling umum adalah permintaan jatah dalam proyek pembangunan.
"Kalau itu proyek pada waktu pembangunan, mereka misalnya mulai dari kuli angkut, nah itu mereka minta bagian tuh. Minta bagian kuli angkut kayak gitu. Itu mereka memalak dari situ," ungkap Hariyadi kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/3/2025).
Selain itu, ada juga modus dengan alasan kompensasi sosial. "Biasanya mereka melibatkan lingkungan. Mereka minta jatah yang terkait dengan pekerjaan proyek, minta dari sisi kompensasi, kayak gitu-gitu. Nah, itu yang dilakukan oleh Ormas," lanjutnya.
Ada juga yang meminta 'uang keamanan', misalnya dengan menguasai lahan parkir atau meminta pungutan dari proses bongkar muat barang. Semua itu dilakukan tanpa prosedur yang jelas dan lebih menyerupai paksaan.
Foto: Suasana Tanjung Priok, Jakarta Utara (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Sejumlah truk bongkar muat melintas di kawasan Tj Priok, Jakarta, Jumat, 11/6. Praktik pungutan liar (pungli) hingga saat ini masih merajalela di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Seperti pengakuan beberapa supir kepada Presiden Joko Widodo, Kamis (11/6/2021), saat kunjungan ke pelabuhan utama Indonesia ini kemarin.Para pekerja kerah biru ini mengeluhkan, bukan terkait masalah beratnya pekerjaan yang digelutinya, melainkan aksi premanisme juga pungutan liar yang kerap terjadi. Dia berharap, pihak aparat bisa lebih memperketat pengamanan area pelabuhan. Selain itu, pihaknya juga berharap ada transparansi biaya pelabuhan untuk semua aktivitas.Dari dialog yang dilakukan supir truk dengan Presiden Joko Widodo kemarin, praktik premanisme terjadi saat keadaan jalan sedang macet di mana preman naik ke atas truk, lalu menodongkan celurit kepada supir untuk dimintai uang.Adapun pungli terjadi di sejumlah depo. Pengemudi truk dimintai uang Rp 5.000 - Rp 15.000 supaya bongkar muat bisa lebih dipercepat pengerjaannya. Jika tidak dibayar, maka pengerjaan bongkar muat akan diperlambat. Hal ini terjadi di Depo PT Greating Fortune Container dan PT Dwipa Kharisma Mitra Jakarta. Pantauan CNBC Indonesia dilapangan saat di kawasan JICT tampak jarang hampir tak terlihat himbauan banner stop pungli diarea tempat keluarnya truk.Suasana dipinggir jalan kawasan Tj Priok arah Cilincing juga tak terlihat para kenek parkir di pinggir jalan semenjak ramenya kasus pungli.
Lantas, jika itu jelas-jelas pungutan liar, kenapa para pengusaha memilih untuk tetap membayar? Jawabannya sederhana, yakni menghindari konflik dan menjaga kelangsungan bisnis.
"Akhirnya yang dipalak ini, daripada dipusingin, ya udah deh tawar-menawar. Harganya bisa lebih rendah, tapi dia lebih aman. Walaupun itu nggak benar ya, karena menelikung regulasi," kata dia.
Menurutnya, banyak dari para pelaku pemalakan atau Ormas ini adalah orang-orang yang memang tidak memiliki pekerjaan tetap dan mencari celah dari proyek-proyek yang ada. "Kebanyakan mereka tuh kan nggak punya kerjaan ya. Jadi cari-carinya kayak begitu," tambahnya.
Adapun terkait besaran biaya yang harus dikeluarkan pengusaha akibat praktik ini, Hariyadi mengatakan jumlahnya sangat bervariasi. "Itu variatif. Variatif tergantung juga kita pendekatannya gimana. Kalau kita pendekatannya tidak luwes, ya kenanya bisa banyak. Tapi kalau kita luwes, artinya ya ya ini kan masalah seperti tadi saya bilang, 'ini mau gimana nih? Mau ngotot-ngototan?' Yang ada jadi nggak jalan tuh bisnisnya," terang dia.
Kendati demikian, ia menekankan bahwa fenomena ini tidak bisa digeneralisasi ke semua daerah atau semua Ormas. "Saya nggak bisa bilang semuanya seperti itu ya. Nanti terlalu didramatisir juga. Jadi itu tergantung juga daerahnya gimana, ada singgungan sosial nggak, ada singgungan dengan regulasi atau nggak," ujarnya.
(wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ahli ITB Ungkap Efek "Pencampuran" Zat Aditif di BBM Pertamina
Next Article Peringatan Keras Bos Pengusaha, PPN 12% Ancam Nasib Pekerja Hotel Cs