Pengusaha Tekstil Teriak RI Ketinggalan dari India, Beberkan Buktinya

2 months ago 24

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mendesak pemerintah dengan tegas menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib bagi seluruh produk tekstil. Usulan ini muncul sebagai langkah perlindungan terhadap industri dalam negeri, sekaligus sebagai strategi non-tarif barrier untuk mengatasi defisit neraca perdagangan.

Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil menyebut Indonesia bisa belajar dari India dalam penerapan standar wajib untuk produk tekstil. Katanya, India saat ini telah menerapkan regulasi standar wajib atau Quality Control Order (QCO) yang dikeluarkan oleh Bureau Indian Standard (BIS) untuk semua produknya, tidak terkecuali untuk produk tekstil.

"Kita harus belajar dari India sebenarnya, karena kalau India ini mereka menerapkan standar wajib untuk semua produk, dan ini mulai bertahap sih dari serat, kemudian benang, mungkin nanti kain. Nah mereka ini cukup sistematis, karena mereka mengeluarkan standarnya, kemudian industri dalam negerinya mematuhi terhadap standar itu," kata Farhan kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/2/2025).

Dengan standar ini, pemerintah India dapat mengontrol produk impor yang berkontribusi pada defisit perdagangan, sehingga industri dalam negeri bisa berkembang.

"Dengan adanya standar wajib itu, India bisa memberikan rekomendasi terhadap produk-produk yang memang neraca perdagangannya minus, sehingga industri dalam negerinya bisa tumbuh kan. Itu yang terjadi di India," ujarnya.

Penyebab SNI Wajib Sulit Diterapkan Merata

Farhan menekankan, Indonesia juga memiliki neraca perdagangan tekstil yang negatif, dengan selisih sekitar US$2-3 miliar. "Kalau itu selisih neraca perdagangannya. Tapi kalau berdasarkan volume, itu minus, karena memang angka ekspor kita tinggi sedangkan nilai impor kita rendah, karena terjadi dumping dan macam-macam lah yang harganya jauh lebih murah," sambung dia.

Dengan menerapkan standar wajib, menurutnya, Indonesia bisa menciptakan hambatan non-tarif untuk melindungi pasar domestik dari serbuan produk impor murah.

Meski telah diusulkan, kebijakan SNI wajib untuk semua produk tekstil belum mendapat persetujuan dari pemerintah. Menurut Farhan, salah satu alasan utamanya adalah dominasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam industri pakaian jadi. Penerapan standar wajib dianggap bisa memberatkan mereka, terutama di tengah persaingan dengan produk impor murah dan pakaian bekas.

"Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akhirnya menarik usulan ini karena UMKM masih kesulitan bersaing, apalagi jika harus memenuhi standar SNI yang ketat," jelasnya.

Selain mendorong regulasi SNI wajib, APSyFI juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap aturan labeling berbahasa Indonesia. Saat ini, masih banyak importir yang tidak mematuhi aturan ini, bahkan beberapa hanya menempelkan stiker label yang mudah hilang.

"Importir yang nakal ini sebetulnya dalam memasukkan barang ke dalam negeri, mereka melakukan labeling disini. Nah ini kan kalau diperhatikan, pelabelan bahasa Indonesia atau SNI itu hanya ditempel stiker saja, bukan di hangtag atau di bajunya ya, jadi gampang hilang gitu loh. Itu juga jadi problem," kata Farhan.

Baju Bayi Wajib SNI Tapi Penegakan Hukum Masih Lemah

Hal ini juga menjadi perhatian Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI). Direktur Eksekutif YKTI Ardiman Pribadi menegaskan, pemerintah harus lebih serius dalam menegakkan aturan ini.

"Kami Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam menegakkan aturan kewajiban penggunaan label berbahasa Indonesia dan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib. Aturan ini sangat penting bagi kita sebagai konsumen, agar dapat mengetahui spesifikasi serta kualitas barang yang dibeli," kata Ardiman dihubungi terpisah.

Dia pun menjelaskan, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 telah mewajibkan semua jenis pakaian dan kain yang beredar di Indonesia untuk mencantumkan label dalam bahasa Indonesia. Kewajiban ini sebenarnya sudah diberlakukan sejak 2015. Namun, hingga kini, hampir tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan tersebut.

Lebih mengkhawatirkan lagi, penegakan hukum terkait SNI pakaian bayi sangat lemah. Produk-produk yang seharusnya memenuhi standar keamanan dan keselamatan untuk bayi masih bebas beredar, bahkan dijual secara terang-terangan di platform online tanpa memenuhi standar SNI.

"Sayangnya, hingga kini belum ada tindakan tegas dari pihak berwenang," ucapnya.

Oleh karena itu, YKTI meminta kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam menegakkan aturan ini. Penegakan hukum yang lemah hanya akan merugikan konsumen, terutama dalam hal keselamatan dan kualitas produk yang digunakan sehari-hari.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Festival Keagamaan di India Makan Korban, 40 Tewas

Next Article Kemenperin Bongkar Fakta Baru, Akui RI Kalah dari Vietnam-Malaysia

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|