Perlindungan Cagar Budaya di Bantul Masih Terbatas

2 hours ago 8

Perlindungan Cagar Budaya di Bantul Masih Terbatas Ilustrasi, Pasar Jodog salah satu Cagar budaya di Bantul peninggalan Belanda yang belum dipasang papan penanda. Dok Disbud Bantul

Harianjogja.com, BANTUL— Upaya perlindungan terhadap cagar budaya di Bantul masih menghadapi keterbatasan. Hingga kini, baru 35 dari 213 cagar budaya yang dipasangi papan penanda sebagai identitas sekaligus instrumen perlindungan hukum.

Plt. Kepala Seksi Warisan Budaya Benda Dinas Kebudayaan (Disbud) Bantul, Elfi Wachid Nur Rahman, menjelaskan pemasangan papan penanda dimulai sejak 2019 dengan 15 objek, lalu ditambah 20 objek lagi pada 2024. “Jadi total baru 35 cagar budaya yang memiliki papan,” ujarnya, Jumat (26/9/2025).

BACA JUGA: Praperadilan Ditolak, Eks Lurah Srimulyo Wajiran Legowo dan Siap Hadapi Peradilan

Menurutnya, jumlah papan tidak harus sama dengan jumlah cagar budaya yang tercatat. Pasalnya, dalam satu lokasi bisa terdapat lebih dari satu objek. “Contohnya di Makam Imogiri, ada banyak makam yang termasuk cagar budaya, tapi cukup satu papan penanda. Selain itu, untuk cagar budaya yang bisa dipindahkan seperti arca, papan penanda kadang tidak relevan,” jelasnya.

Elfi menambahkan, mayoritas papan justru dipasang di objek cagar budaya milik pribadi. Pertimbangannya, tingkat kerawanan lebih tinggi dibanding objek milik pemerintah.

“Karena bisa diwariskan atau bahkan diperjualbelikan. Kalau tidak dipasang papan penanda, dikhawatirkan terjadi perubahan terhadap objek tersebut,” katanya.

Salah satu contoh objek yang dinilai sangat bernilai adalah rumah tradisional di Grogol, Parangtritis, yang pernah menjadi tempat singgah Jenderal Sudirman. “Rumah ini kerap digunakan TNI untuk upacara maupun long march perwira baru. Jadi punya nilai sejarah tinggi,” tambahnya.

Disbud Bantul menegaskan bahwa sejak 2010 objek cagar budaya memang masih boleh dimiliki pribadi, namun tidak boleh diubah fungsi maupun bentuknya.

“Kalau tidak diberi perlindungan papan penanda, dikhawatirkan akan ada renovasi tanpa koordinasi atau bahkan vandalisme. Papan ini bisa jadi alat bukti hukum, karena orang tidak bisa lagi beralasan tidak tahu,” papar Elfi.

Soal rencana ke depan, Disbud Bantul belum bisa menambah papan penanda pada 2025 dan 2026 karena rasionalisasi anggaran. Pengajuan baru akan dilakukan pada 2027 untuk 20 papan dengan estimasi biaya sekitar Rp40 juta.

“Satu cagar budaya biasanya dipasangi dua papan, yaitu papan penanda dan papan berisi sanksi jika ada pelanggaran,” ungkapnya.

Elfi menegaskan bahwa papanisasi adalah bagian dari upaya perlindungan, pelestarian, sekaligus pemanfaatan cagar budaya.

“Pertama-tama kita tetapkan dulu dengan SK bupati, itu memberi kekuatan hukum. Setelah itu kita pasangi papan sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat bahwa objek ini cagar budaya dan ada aturan hukumnya,” pungkasnya.

Sementara itu, bagi warga, keberadaan papan penanda ternyata juga memberi informasi baru. Tri Murdiatmo (60), warga setempat, mengaku baru tahu jika pasar di dekat rumahnya termasuk cagar budaya. “Saya tidak tahu malah pasar ini masuk cagar budaya. Dulu tahunya peninggalan Belanda. Cagaknya dari besi, kalau malam-malam dipukul buat ronda malam,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|