Jakarta, CNN Indonesia --
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi merilis kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan mengumumkan lima orang tersangka pada Senin (3/3).
Kasus yang ditangani berfokus pada pemberian fasilitas kredit kepada satu debitur yaitu PT Petro Energy (PT PE).
Lembaga antirasuah memakai Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) tentang kerugian keuangan negara dalam penanganan kasus ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNNIndonesia.com merangkum sejumlah poin penting mengenai kasus tersebut.
Lima tersangka
KPK telah melakukan penyelidikan kasus ini sejak bulan Maret tahun 2024. Satu tahun setelahnya, tepatnya pada 20 Februari 2025, pimpinan KPK mengeluarkan keputusan untuk meningkatkan status ke tahap penyidikan. Sebanyak lima orang ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka ialah Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan.
Kemudian Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal atau Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin, Direktur Utama PT PE Newin Nugroho dan Direktur Keuangan PT PE Susy Mira Dewi Sugiarta. Para tersangka belum ditahan.
Modus operandi
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyidikan yang mewakili Direktur Penyidikan, Budi Sokmo Wibowo, mengungkapkan modus operandi pemberian kredit yang berujung pada dugaan korupsi tersebut.
Budi menuturkan diduga telah terjadi benturan kepentingan atau conflict of interest antara direktur LPEI dengan PT PE. Mereka disebut melakukan kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit.
Kata Budi, direktur LPEI tidak melakukan kontrol kebenaran penggunaan kredit sesuai MAP.
"Direktur LPEI memerintahkan bawahannya untuk tetap memberikan kredit walaupun tidak layak diberikan," ujar Budi dalam konferensi pers, Senin.
Budi menyatakan PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice yang menjadi underlying pencairan fasilitas tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
PT PE melakukan window dressing terhadap Laporan Keuangan (LK).
Budi menambahkan PT PE menggunakan fasilitas kredit tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukan sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit dengan LPEI.
Kerugian negara
Khusus untuk pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada PT PE, Budi menyebut negara diduga mengalami kerugian sebesar US$60 juta atau sekitar Rp900 miliar lebih.
"Atas pemberian fasilitas kredit oleh LPEI khusus kepada PT PE ini, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sebesar USD60 juta," ungkap Budi.
Uang zakat
KPK mengungkap kode 'uang zakat' yang diminta direksi LPEI kepada para debitur. Jumlahnya 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan.
"Dari keterangan yang kami peroleh dari para saksi menyatakan bahwa memang ada namanya uang zakat ya yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut," tutur Budi.
"Yaitu besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan," sambungnya.
Selain dari keterangan saksi, sebutan uang zakat untuk direksi LPEI itu juga berkesesuaian dengan Barang Bukti Elektronik (BBE) yang telah dilakukan penyitaan.
Usut 10 debitur lain
Budi mengungkapkan setidaknya masih terdapat 10 debitur lain yang memperoleh fasilitas kredit LPEI. Ia belum bisa menyebut detail perusahaan yang memperoleh kredit tersebut.
Hanya saja, kata dia, perusahaan-perusahaan itu ada yang bergerak di bidang perkebunan, shipping dan energi.
"Untuk sementara kami tidak bisa menyebutkan (detail) karena masih dalam proses pendalaman. Namun, terkait sektornya ada di sektor perkebunan, shipping, kemudian di industri terkait dengan energi ada juga," ungkap Budi.
Potensi kerugian negara Rp11,7 triliun
Pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada belasan debitur tersebut yang tidak sesuai aturan berpotensi merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp11,7 triliun.
"Pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada 11 debitur ini berpotensi mengakibatkan kerugian negara dengan total mencapai Rp11,7 triliun," ungkap Budi.
(tsa/ryn)