Siswa SMA (ilustrasi). Menurut psikolog, gap year yang diambil setelah menyelesaikan pendidikan SMA, tergantung pada kebutuhan dan kesiapan anak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi sebagian masyarakat, gap year atau tahun jeda terkadang dianggap sebagai keputusan yang memalukan atau tanda kegagalan. Stigma ini muncul karena anggapan bahwa seseorang yang mengambil jeda setelah lulus SMA tidak memiliki visi atau rencana masa depan yang jelas.
Namun, pandangan ini dinilai perlu diluruskan. Menurut psikolog pendidikan dan konselor SMP dan SMA Cikal Amri Setu, Efika Fiona Gultom, M.Psi, gap year sejatinya adalah sebuah pilihan yang didasarkan pada kebutuhan dan kesiapan diri seseorang untuk melangkah ke tahap kehidupan selanjutnya.
"Menurut saya, gap year itu bukanlah aib dan bukan berarti tertinggal," ujar Fiona dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Rabu (24/9/2025).
Ia menjelaskan masa jeda ini adalah sebuah jeda atau break yang diambil setelah menyelesaikan pendidikan di SMA. Keputusan ini sangat tergantung pada kebutuhan dan kesiapan anak. "Apabila anak terlihat belum siap atau sudah terlalu lelah dengan rutinitas akademik, tidak ada salahnya untuk mengambil masa gap year tersebut," kata dia.
Dengan demikian, gap year dinilai bukanlah aib melainkan sebuah jeda yang memberikan kesempatan bagi individu untuk memulihkan diri dan mempersiapkan langkah berikutnya dengan lebih matang. Fiona juga menyoroti aspek psikologis dari gap year, menekankan bahwa jeda ini bisa menjadi sarana yang sangat bermanfaat untuk mengenali diri.
Gap year dapat dilihat sebagai kesempatan bagi anak untuk memiliki lebih banyak waktu mengenali diri dan memperkaya diri dengan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kehidupan nyata (real-life experiences). Pengalaman ini bisa menjadi bekal positif yang membuat anak lebih siap secara mental dan emosional untuk menghadapi tantangan di bangku kuliah atau dunia kerja.
Dia mengingatkan orang tua untuk tidak membanding-bandingkan fase perkembangan anak mereka. Setiap individu memiliki kecepatan dan ketahanan diri yang berbeda-beda. Memahami gap year dari sisi yang lebih positif akan membantu orang tua memberikan dukungan dan pendampingan yang tepat.
"Tidak ada pilihan yang salah atau benar, tetapi lebih kepada cocok atau tidak dengan kebutuhan diri anak," ujarnya.
Ia menggarisbawahi bahwa gap year dapat menjadi momentum penting untuk membekali anak dalam berbagai aspek. "Jadi, orang tua tidak perlu membandingkan atau merasa tertinggal dari yang lain," ujarnya.