RI Belum Baik-baik Saja! Pengusaha Ungkap Daftar Masalah Bikin Pusing

6 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pengusaha yang tergabung ke dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memberikan catatan permasalahan ekonomi yang akan dihadapi Indonesia sepanjang tahun ini. Mulai dari masalah rendahnya daya beli masyarakat hingga tingginya biaya ekonomi yang tak kunjung reda.

Ketua Komite Perpajakan Apindo Siddhi Widyaprathama mengatakan berbagai tantangan ekonomi tahun ini terdiri dari kondisi tekanan yang dipengaruhi permasalahan pada tahun lalu dan belum dapat diselesaikan pemerintah, hingga berbagai kebijakan pemerintah itu sendiri yang berpotensi mengganggu iklim usaha.

"Situasi ekonomi nasional ini kita masih baru di penghujung 2024 dan kita baru memulai di 2025," kata Siddhi dalam acara Economic & Taxation Outlook 2025 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) secara daring, Selasa (23/1/2025).

Permasalahan ekonomi pertama yang disinggung oleh Siddhi ialah pelemahan daya beli di tanah air yang telah terjadi selama dua tahun terakhir, yakni pada periode 2023-2024. Ia mengatakan, pelemahan daya beli ini dapat dengan jelas terlihat dari menurunnya data kelas menengah di Indonesia.

"Pelemahan daya beli terjadi karena ada penurunan kelas menengah yang semakin besar. Data kami menunjukkan bahwa kelas menangah di 2019 ada 57,3 juta orang penduduk yang masuk kategori kelas menengah 2024 turun sehingga menjadi 47,85 juta," ucap Siddhi.

Permasalahan pertama itu pada akhirnya memunculkan permasalahan rambatan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang ia perkirakan masih akan stagnan di kisaran 5% pada tahun ini. Sebab, kelas menengah Indonesia Siddhi tegaskan berperan penting dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga.

Ia mengakui, Presiden Prabowo Subianto memang memiliki target untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8% ke depan. Namun, menurutnya target tersebut harus menghadapi tantangan berat untuk direalisasikan karena kenaikan dari pertumbuhan yang selama ini stagnan di kisaran 5% harus naik 60% untuk mencapai 8%.

"Kenaikan 3% itu sekitar 60% artinya semua tumbuh 60% untuk bisa mencapai 8%. Contoh sederhana income bapak ibu harus naik 60%, belanja harus naik 60%, ini memang penyederhanaan yang berlebihan tapi ini contoh sederhana bisa tumbuh 8%," tegasnya.

Masalah ketiga ialah faktor stabilitas nilai tukar rupiah yang semakin penuh tantangan ke depan. Ia mengakui, kalangan pengusaha memang tidak akan melihat kurs rupiah berdasarkan nilainya saja, namun yang menjadi sorotan utama ialah pergerakan kurs itu sendiri yang tidak boleh mengalami gejolak berlebihan dalam kurun waktu singkat.

"Kesepakatannya pengusaha ingin rupiah stabil, dengan rupiah stabil semua bisa dilakukan, proyeksi, perhitungan-perhitungan, sehingga kalau rupiah bergejolak perhitungannya ikut berantakan, ini yang dialami," ungkap Siddhi.

Masalah keempat ialah terkait dengan data inflasi di Indonesia. Menurutnya, pemerintah dan otoritas terkait selama ini memang mampu menjaga data inflasi di kisaran target 2,5% plus minus 1%. Namun, yang menjadi soal ialah kenaikan harga di lapangan rata-rata bisa mencapai 10%.

"Kenyataannya barang tidak naik cuma 3,5%, ada yang naik 10% lebih, ini fakta yag tidak bisa kita tutup mata," paparnya.

Adapun masalah kelima, terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Prabowo Subianto. Salah satunya terkait dengan penetapan Upah Minimum yang tak lagi memanfaatkan rumusan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Nomor 2023.

"Ini timbulkan preseden bagi investor asing. Banyak yang bertanya dari mana tetapkan kenaikan UMP 6,5%, kami tidak bisa jawab karena tidak ada dasar hukum yang bisa kami gunakan sehingga di sini timbulkan ketidakpastian hukum," ucap Siddhi.

"Bagi investor yang mau masuk ke Indonesia nomor satu adalah kepastian hukum, kalau itu tidak bisa dijamin sangat berdampak besar bagi keputusan investor masuk ke Indonesia menanamkan modalnya," ungkapnya.

Permasalahan keenam ialah terkait revisi PP Nomor 36 Tahun 2023 yang akan membuat ketentuan baru terhadap devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). DHE SDA ke depan 100% harus ditempatkan di sistem keuangan domestik selama satu tahun.

"Walaupun nanti ditaruh di bank, dibungakan, dapat penghasilan bunga, tapi bagaimana itu working capital nanti untuk bayar tenaga kerja, tagihan-tagihan supplier, bisnis bisa jalan, ini timbulkan tantangan berat, ini situasi ekonomi yang nyata dihadapi kita bersama," tegasnya.

Terakhir, permasalahan ekonomi yang menjadi catatan pengusaha untuk 2025 ialah masih tingginya biaya ekonomi di dalam negeri. Ia mengatakan, biaya ekonomi tinggi ini mulai dari logistik, tenaga kerja, serta suku bunga pinjaman yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan high cost economy tertinggi di ASEAN.

"Contoh data di kami dari APINDO menunjukkan biaya logistik mencapai 23% dari PDB, dibanding Malaysia hanya 12,5%, dan Singapura malah 8%. Belum lagi pungli-pungli oknum dan sebagainya, termasuk high cost ekonomi dan ini situasi eko yang kita hadapi bersama," ucap Siddhi.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: DHE Wajib "Diparkir" Dalam Negeri 100% Selama 1 Tahun

Next Article Tok! Pemerintah Rombak Aturan Main DHE, Berlaku Januari 2025

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|