Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mulai menemukan cara untuk memberantas serangan bakteri Vibrio parahaemolyticus pada komoditas udang Vaname atau Litopenaeus Vannamei. Temuan BRIN ini memberikan efek dahsyat untuk memusnahkan bakteri tersebut dibandingkan penggunaan antibiotik.
BRIN melalui Pusat Riset Mikrobiologi Terapan (PRMT) telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan PT Intraco Agroindustry. Kerja sama ini fokus pada riset dan inovasi dalam pengembangan aplikasi bakteriofag atau pemakan bakteri dan lebih spesifik Vibriofag untuk mengendalikan Vibrio parahaemolyticus, penyebab Acute Hepatopancreas Necrosis Disease (AHPND) pada udang Vaname.
Pencegahan dan penanggulangan Vibriosis selama ini bergantung pada penggunaan antibiotik, seperti eritromisin, enrofloxacin, oksitetrasiklin, streptomisin, amoksisilin asam klavulanat, dan nitrofurantoin. Namun, resistensi patogen terhadap antibiotik ini semakin meluas, serta menimbulkan masalah kesehatan yang serius bagi manusia dan lingkungan.
Kepala Pusat Riset Mikrobiologi Terapan (PRMT) BRIN Ahmad Fathoni mengungkapkan pengembangan teknologi aplikasi bakteriofag terseleksi untuk mencegah penyakit vibriosis AHPND pada tahapan pembibitan, hatchery, dan pembesaran udang Vaname, serta pengaplikasian bakteriofag terseleksi pada produksi pakan udang.
"Kerja sama ini sudah diinisiasi pada tahap trial dengan aplikasi skala terbatas pada tahapan budidaya, dan hasilnya sudah ada peningkatan antara perlakuan dengan kontrol. Kami berharap, selain mengendalikan penyakit juga akan meningkatkan produktivitas udang Vaname, yang sudah in line dengan program pemerintah meningkatkan produtivitas udang sebesar 30%," ungkap dia dalam keterangan resminya, Senin (13/1/2025).
Foto: Udang. (Dok Kementerian KKP)
Udang. (Dok Kementerian KKP)
Dia pun berharap dengan adanya temuan ini produksi udang Vaname dapat meningkat, yaitu mengatasi masalah penyakit yang mengancam industri perikanan budidaya di Indonesia.
Peneliti Ahli Madya PRMT BRIN Novik Nurhidayat menjelaskan inisiatif riset ini bertujuan untuk mengisolasi dan menyeleksi jenis Vibriofag yang paling efektif untuk mengendalikan Vibrio. Kemudian akan diaplikasikan kembali ke lingkungan untuk mengontrol patogen tersebut.
"Metode yang kami gunakan dengan melibatkan isolasi dan perbanyakan Vibriofag dalam spesifik target Vibrio yang paling virulen. Vibriofag kemudian dipanen dan diformulasi untuk diaplikasikan pada proses produksi benur udang di hatchery," timpalnya.
Menurutnya, Vibriofag terseleksi yang diaplikasikan ini akan mencari target Vibrio untuk menginfeksi, bereplikasi menjadi ribuan Vibriofag baru, dan keluar dengan menghancurkan sel Vibrio target tersebut. Ribuan Vibriofag baru tersebut akan kembali mencari bakteria Vibrio baru untuk mengulang proses replikasinya, sehingga jumlah Vibrio akan terkontrol ke kesimbangan yang tidak akan menggangu pertumbuhan benur menjadi udang.
"Hasilnya udang tumbuh baik, bebas penyakit yang disebabkan oleh Vibrio seperti AHPND. Pertumbuhan udang yang sehat bebas AHPND ini, ternyata juga teramati lebih tahan terhadap serangan penyakit lainnya seperti Enterocytozoon hepatopenaei (EHP)," papar Novik.
Ia menekankan pentingnya pendekatan ini, mengingat penyakit yang disebabkan bakteri Vibrio parahemolyticus dapat menurunkan produktivitas udang hingga lebih dari 80%. Aplikasi Vibriofag ini sederhana, dalam jumlah minimal dan tidak perlu banyak diulang, karena Vibriofag akan dengan sendirinya bereplikasi. Tentunya untuk memperbanyak dirinya secara dinamis mengontrol jumlah Vibrio penyebab penyakit.
"Kecepatan replikasi Vibriofag jauh lebih cepat daripada reproduksi bakteria Vibrio, sehingga peluang resistensinya sulit terjadi. Metode ini menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan, dengan tingkat kematian rendah dan efisiensi pakan yang efisien. Di samping itu juga mampu meningkatkan produktivitas budidaya udang secara signifikan," pungkasnya.
(wur/wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ramalan Jakarta "Digulung" Tsunami Hingga China Serang Taiwan
Next Article Jadikan Kopi Indonesia Primadona Dunia, Petani Butuh Bibit Unggul