Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2020-2024 Satya Widya Yudha membeberkan cara, supaya Indonesia tak perlu keluar dari penggunaan batu bara sebagai pembangkit listrik. Namun, masih tetap menghasilkan energi yang bersih.
Yakni, dengan membersihkan emisi yang dihasilkan melalui pemanfaatan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
"Nah di dalam menuju kepada pemenuhan penurunan daripada emisi karbon apa sih ininya appetite-nya dari sektor energi? Maka kita masukkan renewables, kita masukkan fosil tetapi clean fosil. Ya maka clean fosil paling tidak gas masuk," ungkapnya dalam acara Swasembada Energi CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Jumat (21/2/2025).
Baginya, energi fosil seperti batu bara sendiri masih berperan penting dalam menunjang pemenuhan sumber energi di Indonesia dengan harga yang terjangkau. "Jadi masalah affordability masih masuk sehingga kita juga harus bisa menciptakan harga energi itu affordable," katanya.
Pemanfaatan batu bara juga dinilai sejalan dengan visi pemerintahan untuk menjaga ketahanan energi dalam negeri. Sehingga hal yang akan dilakukan adalah meminimalisasi sumbangan emisi karbon dengan teknologi tersebut.
"Nah kita tidak boleh, kita tidak boleh pada posisi energi kita itu chaos. Maka kenapa presiden mengatakan bahwa energy security itu harus mengemuka di dalam scenario transisi kita," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan Indonesia masih berkomitmen pada Paris Agreement atau perjanjian iklim Paris. Sekalipun Amerika Serikat lebih memilih mundur dari komitmen tersebut.
Meski demikian, Bahlil menegaskan bahwa kebijakan energi domestik harus mempertimbangkan skala prioritas nasional. Khususnya terkait penyediaan energi di dalam negeri melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Oh nggak ada, kita masih tak komitmen kok. Tapi kita lihat skala prioritas untuk melihat keuangan negara dan biaya listrik kita," ujar Bahlil di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Menurut dia, PLTU berbahan bakar batu bara masih akan menjadi opsi lantaran memiliki biaya yang lebih murah dibandingkan menggunakan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) atau gas.
Ia pun memerinci bahwa biaya produksi listrik dari PLTU hanya berkisar di angka 5-6 sen per kWh. Sementara apabila menggunakan pembangkit berbasis EBT bisa mencapai lebih dari 10 sen per kWh.
"Bahkan selisihnya kalau kita pakai antara batubara dan gas, selisih per satu gigawatt per tahun Rp 5-6 triliun. Jadi Rp 5-6 triliun ini siapa yang mau nanggung? Negara, subsidi lagi. Atau rakyat? Ya saya kan harus berpikir mendahulukan kepentingan rakyat dong," kata dia.
Ia lantas menyinggung keputusan Amerika Serikat sebagai negara maju yang saat ini justru mulai mundur dari kebijakan tersebut.
"Amerika saja keluar dari Paris Agreement, masa kita harus dipaksa-paksa terus? Tapi kita setuju lho untuk memakai energi baru terbarukan dengan cara tetap PLTU, tapi kita blending. Blending dengan gas, kemudian matahari, atau kita lagi mendesain untuk menangkap carbon capture-nya," kata dia.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Diam-diam Pengusaha Batu Bara Minta Harga DMO Naik!
Next Article Ledakan Dahsyat Guncang Tambang Batu Bara di Iran, 51 Orang Tewas