Saudi Satukan Kekuatan 'Geng' Arab, Lawan Manuver Trump Caplok Gaza

1 day ago 3

Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Para pemimpin Arab akan berkumpul di Arab Saudi pada Jumat (21/2/2025) untuk membahas strategi melawan rencana kontroversial Presiden Donald Trump yang ingin menempatkan Gaza di bawah kendali Amerika Serikat dan memindahkan penduduknya ke Mesir dan Yordania.

Pertemuan ini menjadi momentum langka dalam sejarah diplomasi Timur Tengah, di mana negara-negara Arab menunjukkan kesatuan sikap dalam menolak rencana AS. Namun, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang akan mengelola Gaza pasca-perang serta sumber pendanaan untuk rekonstruksi wilayah tersebut.

"Ini akan menjadi pertemuan paling berpengaruh dalam beberapa dekade terakhir terkait dunia Arab secara luas dan isu Palestina," kata Umer Karim, pakar kebijakan luar negeri Saudi, kepada AFP.

Sumber dari pemerintahan Arab Saudi mengatakan bahwa agenda utama dalam pertemuan ini adalah membahas rencana rekonstruksi Gaza sebagai tandingan atas rencana Trump.

Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Trump di Washington pada 11 Februari, Raja Yordania Abdullah II menyatakan bahwa Mesir akan mengusulkan solusi alternatif untuk situasi di Gaza.

"Para pemimpin Arab akan membahas versi rencana Mesir," kata sumber Saudi tersebut.

Semula, pertemuan tingkat tinggi ini hanya direncanakan untuk dihadiri oleh Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Yordania. Namun, cakupannya kini diperluas dengan kehadiran keenam negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) serta Otoritas Palestina.

Bagi rakyat Palestina, pemindahan paksa dari Gaza mengingatkan mereka pada peristiwa Nakba (bencana) tahun 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan tanah mereka akibat berdirinya negara Israel.

Rencana Rekonstruksi

Isu rekonstruksi akan menjadi pembahasan utama dalam pertemuan ini, terutama karena Trump menjadikan kerusakan infrastruktur Gaza sebagai alasan utama untuk mendesak pemindahan penduduknya.

Mesir sendiri belum secara resmi mengumumkan rencana rinci mereka. Namun, Mohamed Hegazy, mantan diplomat Mesir dan anggota Dewan Hubungan Luar Negeri Mesir, mengungkapkan bahwa rencana tersebut akan terdiri dari tiga tahap dan berlangsung selama tiga hingga lima tahun.

Tahap pertama akan berlangsung selama 6 bulan yang mencakup pemulihan awal dengan mengerahkan alat berat untuk membersihkan puing-puing. Selain itu, Menentukan zona aman di dalam Gaza untuk menampung warga yang kehilangan tempat tinggal.

Tahap kedua mencakup mengadakan konferensi internasional untuk memerinci upaya rekonstruksi. Fokus utama pada pembangunan kembali infrastruktur dasar, seperti listrik, air, dan sistem transportasi.

Tahap ketiga, perencanaan tata kota Gaza yang baru, pembangunan kembali perumahan, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Di samping itu, juga memulai proses politik menuju solusi dua negara untuk memastikan gencatan senjata yang berkelanjutan.

Menurut perkiraan PBB, biaya rekonstruksi Gaza akan mencapai lebih dari US$53 miliar, dengan lebih dari US$20 miliar diperlukan dalam tiga tahun pertama.

Namun, Umer Karim menekankan bahwa keberhasilan rencana ini membutuhkan tingkat persatuan Arab yang belum pernah terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

Masalah Pendanaan

Adapun tantangan terbesar dalam rencana Mesir adalah sumber pendanaan.

"Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi rencana Mesir adalah bagaimana membiayainya," kata seorang diplomat Arab yang akrab dengan kebijakan Teluk kepada AFP.

Negara seperti Kuwait mungkin akan memberikan dana dengan alasan kemanusiaan, tetapi negara Teluk lainnya kemungkinan akan menetapkan syarat-syarat tertentu sebelum mencairkan dana.

"Saudi dan UEA tidak akan mengeluarkan dana kecuali jika Qatar dan Mesir bisa menjamin sesuatu terkait Hamas," ujar Karim.

Selain itu, rencana Mesir berusaha menyelesaikan masalah kontrol Gaza pasca-perang, dengan membentuk pemerintahan Palestina yang tidak terafiliasi dengan faksi politik mana pun.

"Administrasi Gaza pasca-perang akan diisi oleh para ahli dan tidak akan memiliki afiliasi politik," kata Hegazy. "Secara hukum dan politik, mereka akan berada di bawah Otoritas Palestina."

Rencana ini juga mencakup pembentukan pasukan keamanan yang berafiliasi dengan Otoritas Palestina, yang akan dibantu oleh personel keamanan dari Mesir, negara-negara Arab, dan negara lain.

Perbedaan Pendapat

Meski ada kesatuan dalam menolak rencana Trump, negara-negara Arab masih memiliki perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan mengontrol Gaza setelah perang berakhir.

Hegazy mengatakan bahwa Hamas akan mundur dari panggung politik, sementara sumber Saudi menyatakan bahwa Riyadh ingin Gaza dikendalikan sepenuhnya oleh Otoritas Palestina.

Qatar, sebagai mediator utama dalam konflik ini, menekankan bahwa masa depan Gaza harus ditentukan oleh rakyat Palestina sendiri.

Menurut Umer Karim, Hamas kemungkinan besar tidak akan dimasukkan dalam rencana apapun.

"Semua aktor regional memahami bahwa rencana mereka tidak boleh melibatkan Hamas dalam bentuk apa pun, karena keberadaan Hamas akan membuat rencana tersebut tidak dapat diterima oleh AS dan Israel," kata Karim.

"Jadi, ada beberapa hal mendasar di Gaza yang harus berubah agar rencana ini memiliki peluang untuk berhasil."


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Trump Setop Bantuan Ke Yordania-Mesir Jika Tolak Relokasi Gaza

Next Article Raja Yordania Abdullah II 'Sentil' Dunia Muslim, Serukan Ini soal Gaza

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|