Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi negara-negara berkembang membutuhkan sumber daya energi untuk menopang pertumbuhan. Namun, di sisi lain, mereka dihadapkan dengan peningkatan emisi karbon. Tantangan ini membuat banyak negara berkembang harus mengembangkan solusi emisi karbon rendah, di tengah upaya menjaga pertumbuhan ekonomi.
Chris Birdsall, Director Economics and Energy ExxonMobil Corporation, menegaskan pengembangan solusi emisi karbon yang rendah tidaklah murah.
"Dan bagi suatu negara untuk beralih ke opsi emisi rendah, seperti gas alam atau nuklir atau (pembangkit dengan) emisi karbon lebih sedikit, itu meningkatkan biaya listrik hingga 50%," ungkap Chris dalam acara CNBC Indonesia Road to Outlook - Energy Edition with ExxonMobil dengan tema "Energy Demand and Supply Outlook Through 2050" di Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Namun, jika suatu negara mencoba membangun seluruh jaringan listriknya hanya dengan tenaga surya, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), ini membutuhkan biaya besar. Dia menuturkan untuk pembangkit tenaga surya menambahkan baterai yang cukup memerlukan pasokan listrik selama 24 jam. Alhasil, biaya listrik akan membengkak.
"Biaya listriknya akan menjadi tiga kali lipat dari saat ini. Jelas, biaya ini tidak terjangkau bagi negara mana pun," ungkap Chris.
Kendati demikian, Chris melihat ada kabar gembira. Menurutnya, kemajuan teknologi menurunkan biaya solusi rendah emisi ini. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran meningkatkan pendapatan dan memungkinkan orang untuk membeli solusi rendah emisi.
"Dan kombinasi keduanya membantu, seiring dunia bergerak maju, untuk menghadirkan lebih banyak solusi rendah emisi. Ini hanyalah salah satu contoh. Ini hanya sektor kelistrikan," ungkapnya.
Untuk Indonesia, dia melihat peluang pertumbuhan yang luar biasa dalam pembangkitan tenaga surya dan angin sebagai alternatif energi rendah emisi. Selain itu, ada pula pilihan nuklir, hidrogen, carbon capture (penyimpanan karbon) hingga biofuel yang bisa menjadi solusi. Untuk sektor industri, pemanfaatan teknologi penyimpanan karbon dan hidrogen bisa menjadi solusi kunci dalam mengurangi emisi.
Sementara itu, biofuel dan hidrogen bisa dimanfaatkan untuk industri transportasi, yakni kendaraan listrik berbasis baterai. Kemudian untuk kelistrikan, Indonesia bisa memanfaatkan LNG, nuklir, hingga penyimpanan karbon. Dia optimistis dengan berbagai pilihan energi terbarukan pada 2050 dominasinya bisa mencapai 60% dari total pasokan energi.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Trump Tak Bisa Diandalkan, RI Incar Investasi EBT China-Eropa
Next Article Sumber Energi Pabrik Nikel Cs Mustahil Cuma Dipasok dari PLTS