Jakarta, CNBC Indonesia - Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah sedikit mengkritisi Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang saat ini sedang menjadi pembahasan di DPR RI. Terdapat setidaknya beberapa pasal yang dicermati oleh Muhammadiyah.
Perwakilan PP Muhammadiyah, Syahrial Suandi menguraikan, diantara pasal tersebut yakni: Pertama, Pasal 17A dalam Draf RUU Minerba mengenai pemerintah yang menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan selama tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
PP Muhammadiyah menilai, pasal tersebut kurang sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Di mana, masih sering terdapat konflik antara wilayah pertambangan dengan berbagai wilayah lain termasuk kehutanan, lingkungan, pertanian, hingga tata ruang.
"Sebagaimana kita pahami, barang tambang itu adalah diberikan Allah kepada kita tanpa bisa memilih dimana dia beradanya. Dia bisa berada di tengah hutan, dia bisa berada di gunung, tapi dia juga bisa berada di pantai dan di laut," tegasnya.
Kedua, diperlukan kajian lebih lanjut terhadap arti dari tambang rakyat yang juga disebutkan dalam draf RUU Minerba yang diterima oleh pihaknya.
Syahrial menilai, pertambangan rakyat yang ada saat ini masih sulit untuk dibedakan dengan pertambangan ilegal yang juga sudah menjamur.
"Sehingga kadang-kadang bagi kami, atau bagi kita semua, agak sulit nantinya sewaktu berhadapan, ini kita berhadapan dengan tambang benar, tambang rakyat benarkah? Ataukah bukan? Sehingga itu akan memudahkan di dalam pembinaan lebih lanjut nantinya," tambahnya.
Ketiga, Pasal 51A ayat 2 butir B draf RUU Minerba. Pasal itu menjelaskan perihal pemberian konsesi tambang pada perguruan tinggi dengan minimal memiliki akreditasi B.
Syahrial menilai, tidak semua perguruan tinggi memiliki program studi pertambangan yang komprehensif untuk bisa mengelola pertambangan di dalam negeri.
Keempat, Pasal 51B draf RUU Minerba yang dinilai akan memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada badan usaha swasta di Indonesia.
Sebaiknya, kata Syahrial, pemberian prioritas WIUPK oleh pemerintah itu sebaiknya diutamakan untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Kenapa demikian? Diserahkan kepada swasta apalagi PMA juga utang juga jatuhnya ke bank nantinya. Saya pikir ini pemikiran kami," katanya.
Kelima, Pasal 169A ayat 5 draf RUU Minerba yang isinya perihal pemegang IUP sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian untuk komoditas tambang batu bara yang telah melaksanakan kewajiban pertambangan diberi perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan.
"Ini menurut kami perlu kita coba lihat apakah seumur tambang habis itu atau seumur dari kontrak atau perjanjian yang diberikan oleh pemerintah. Karena kalau kami lihat disini tidak ada batasan sampai kapan dia, yang penting dia mengajukan perpanjangan sejauh mana evaluasi sama-sama kita pahami. Jadi kalau menurut kami ini perlu ada pembatasan disitu," paparnya.
Keenam, perlu ada kajian lebih lanjut terhadap Pasal 133D draf RUU Minerba perihal tumpang tindihnya UU yang berlaku sebelumnya terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut dan dikembalikan pada negara.
"Karena kegiatan masalah tumpang tindih begini itu menjadi masalah yang cukup lama sampai sekarang belum ada penyelesaian terbaiknya," tandasnya.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Sah! Baleg DPR Setujui Revisi UU Minerba
Next Article UU Minerba Direvisi, dari Hilirisasi Hingga Jatah Tambang untuk UMKM