7 Fakta Perang Dagang II Trump Buat Dunia Kacau, Apa Dampak ke RI?

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) resmi menerapkan tarif impor baru kepada Kanada, Meksiko dan China setelah Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif pada Sabtu lalu.Perintah eksekutif tersebut menetapkan tarif 25% untuk barang impor Kanada dan Meksiko serta 10% untuk China.

Khusus energi, impor dari Kanada berlaku lebih rendah, 10%, untuk meminimalkan dampak pada harga bensin dan minyak pemanas rumah tangga. Berikut beberapa fakta perang dagang baru Trump, seperti dikutip AFP pada Senin (3/1/2025).

Jumlah Perdagangan

AS merupakan mitra dagang penting bagi tiga negara yang menjadi target: Kanada, China, dan Meksiko. Namun, dampaknya akan lebih terasa pada negara tetangga terdekat Washington daripada Beijing, yang merupakan negara ekonomi terbesar kedua di dunia.

Impor AS dari Kanada, Meksiko, dan China mencapai total gabungan lebih dari US$1,2 triliun selama 11 bulan pertama tahun 2024. Menurut Departemen Perdagangan, jumlah ini lebih dari 40% dari semua impor AS.

Menurut badan statistik kedua negara, bagi Meksiko dan Kanada, AS sejauh ini merupakan pelanggan terbesar, yakni menyumbang 77% dari ekspor barang Meksiko dan 84% dari ekspor Kanada. Sementara, menurut data bea cukai China, ketergantungan China pada pasar AS secara proporsional jauh lebih kecil, hanya mewakili 15% dari ekspor tahun 2024.

Namun AS mengalami defisit perdagangan yang cukup besar dengan ketiga negara tersebut dalam 11 bulan pertama tahun 2024. Angkanya lebih dari US$270 miliar dengan China, US$157 miliar dengan Meksiko, dan US$55 miliar dengan Kanada.

Pengaruh ke Kanada-Meksiko dan China

Mengingat paparannya yang lebih besar terhadap perdagangan AS, Meksiko diperkirakan akan menjadi yang paling terpukul. Menurut Oxford Economics, tarif yang diberlakukan pada hari Sabtu dapat meningkatkan tingkat inflasi di sana hingga 6% per tahun, naik dari 4,2% pada Desember, sementara mata uang negara itu, peso, dapat mengalami pelemahan sebesar 7%.

Bagi Kanada, menurut kepala ekonom EY Gregory Daco, tarif AS dapat menyebabkan penurunan PDB sebesar 2,7% tahun ini dan penurunan sebesar 4,3% tahun depan, dibandingkan dengan tingkat yang diharapkan tanpa tarif. Situasi ini akan menambah tekanan inflasi.

Bagi ekonomi AS, dampak yang paling jelas seharusnya menyangkut harga. Beberaoa produk akan terkena dampak sangat besar, seperti mobil dan alpukat dari Meksiko, unggas dan minyak bumi dari Kanada dan iPhone dari China.

"Menghadapi pajak tambahan sebesar 10 hingga 24% pada produk-produk ini, bisnis pasti akan membebankan setidaknya sebagian dari biaya tambahan mereka kepada konsumen," ujarnya.

Sementara itu, Tax Foundation, sebuah lembaga pemikir yang umumnya mendukung penurunan pajak, memperkirakan pada hari Jumat bahwa tarif baru dapat memangkas PDB AS sebesar 0,4% dalam jangka panjang dan menambah biaya tahunan sebesar US$830 untuk setiap rumah tangga Amerika tahun ini. EY memperkirakan kenaikan inflasi sebesar 0,7% pada kuartal pertama sebelum dampaknya mulai mereda.

Tangapan Negara-Negara yang Terdampak

Ketiga negara tersebut tidak membuang waktu dalam menanggapi pengumuman tarif Trump. Rata-rata membuat reaksi keras.

Kanada bereaksi lebih dulu dengan mengumumkan tarif 25% pada produk-produk Amerika yang pada akhirnya bernilai 155 miliar dolar Kanada. Tarif pada tahap pertama produk senilai US$30 miliar akan mulai berlaku hari Selasa.

Beberapa provinsi Kanada mengambil langkah-langkah tambahan. Perdana menteri Ontario dan British Columbia telah meminta gerai-gerai provinsi yang mengimpor minuman beralkohol untuk berhenti membeli persediaan di negara-negara bagian yang diperintah oleh Partai Republik- atau di negara bagian AS mana pun- dalam kasus Ontario.

Mengenai China, kementerian perdagangannya mengatakan Beijing akan mengambil tindakan balasan yang sesuai untuk secara tegas melindungi hak dan kepentingannya. Kementerian luar negeri China mengatakan bahwa "tidak ada pemenang dalam perang dagang atau perang tarif" dan berjanji melapor ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sementara Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum, dalam pernyataan tegasnya, mengumumkan bahwa tarif balasan akan dikenakan pada produk-produk AS. Ia tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Dampaknya ke Pasar Saham dan The Fed

Kepala Investasi di Siebert Financial, New York mengatakan bahwa pasar termasuk bursa AS Wall Street akan bereaksi pada kebijakan tersebut. "Sampai saat ini pasar benar-benar berpihak pada Trump, tetapi itu bisa berubah dan pasar bisa menantangnya untuk pertama kalinya," katanya, dilansir Reuters.

Di lain sisi, ahli strategi Barclays sebelumnya memperkirakan bahwa tarif itu dapat menciptakan hambatan 2,8% pada pendapatan perusahaan S&P 500. Termasuk dampak yang diproyeksikan dari tindakan pembalasan dari negara-negara yang menjadi sasaran.

Potensi untuk menaikkan harga konsumen merupakan area yang sangat sensitif bagi investor, yang khawatir tentang kebangkitan inflasi yang menyebabkan Federal Reserve berhenti memangkas suku bunga. Belum lagi, bank sentral AS minggu lalu menghentikan siklus pemotongan suku bunganya.

Harga Emas

Di tengah ketegangan perdagangan AS, harga emas melonjak melewati level US$2.800 per troy ons, mencapai rekor tertinggi baru. Melansir data Refinitiv, harga emas 3 Februari pukul 06:00 WIB kembali naik tipis 0,07% ke angka US$2.802,96 per troy ons, artinya, harga emas saat ini masih bertengger di posisi tetringgi sepanjang masa.

Namun, ekonom David Rosenberg, Kepala Strategi di Rosenberg Research, memperingatkan bahwa kebijakan perdagangan agresif Trump dapat menyebabkan konsekuensi ekonomi yang parah. Ia melihat reli emas sebagai respons langsung terhadap ketidakstabilan pasar.

"Emas 100% berkorelasi secara proporsional dengan ketidakpastian. Dan ini adalah tingkat ketidakpastian tertinggi yang kita lihat dalam waktu yang lama," katanya.

Sebuah laporan baru dari Financial Times mengungkap bahwa para pedagang telah menarik emas senilai US$82 miliar dari brankas Bank of England, memindahkannya ke bursa Comex di New York dan brankas pribadi di AS.

Perpindahan ini didorong oleh kekhawatiran bahwa kebijakan tarif Trump pada akhirnya bisa mencakup emas. "Kedengarannya gila, tetapi tidak ada yang mustahil dengan pemerintahan ini," ujar Rosenberg.

Efek ke RI

Indonesia disinyalir juga dapat terdampak atas kebijakan tarif Trump. JIka tarif ini tidak berjalan dengan baik atau berdampak buruk bagi banyak negara di dunia, maka ekonomi Indonesia berpotensi terkena imbasnya dan akan mengalami kesulitan. Pasalnya ekspor barang Indonesia ke China maupun yang langsung ke AS akan menjadi semakin mahal.

Sebagai catatan, ekspor Indonesia ke AS melonjak 15,3% di era Trump dari US$16,14 miliar pada 2016 menjadi US$18,62 miliar pada akhir 2020. Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan empat tahun terakhir era Barack Obama yang hanya naik 8,52%.

Secara otomatis, jika barang yang diekspor Indonesia ke China, AS, maupun negara lainnya menjadi lebih mahal dari saat ini, maka barang-barang Indonesia berpotensi tidak laku di pasar internasional dan salah satu caranya untuk mengantisipasi hal ini yakni dengan mendevaluasi nilai tukar rupiah.

Apabila hal tersebut dilakukan, maka perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS akan semakin terbebani dan memperburuk neraca keuangan perusahaan.

Berkurangnya Investasi Langsung AS ke Indonesia?

Melihat era kepimimpinan Trump periode pertama pada 2017-2020, jumlah Investasi Asing Langsung (FDI) dari AS ke Indonesia terpantau terus mengalami penurunan dibandingkan era Joe Biden. Perusahaan AS mungkin lebih fokus pada pasar domestik, mengurangi investasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dari AS ke Indonesia mengalami penurunan dari 2017 hingga 2020 (masa kepemimpinan Trump). Pada 2017, realisasi investasi PMA dari AS sebesar US$1,99 miliar, lalu kemudia secara konsisten mengalami penurunan setiap tahunnya dan hanya menjadi US$0,75 miliar pada 2020.

Dikhawatirkan, hal ini akan kembali terjadi di masa era pemerintahan Trump kedua. Jika hal ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional akan semakin sulit terjadi baik dalam hal Infrastruktur, lapangan kerja, hingga transfer teknologi.


(sef/sef)

Saksikan video di bawah ini:

Video; Wall Street Terusik Deepseek

Next Article Gawat! RI Berpotensi Masuk Radar Perang Dagang Trump

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|