Jakarta, CNBC Indonesia-Ada saja memang gebrakan Amerika Serikat (AS) selama 2024. Sempat memberikan angin segar di pertengahan tahun, tapi berujung pahit setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden.
Tahun 2024 dimulai dengan situasi yang kurang baik. Secara global tingkat ketidakpastian masih cukup tinggi.
Penyebabnya antara lain tensi geopolitik memanas di berbagai wilayah, fragmentasi ekonomi hingga era suku bunga tinggi yang dipicu oleh inflasi tinggi.
Hal ini berpengaruh besar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Di samping sedikit isu domestik yang menjadi kekhawatiran investor.
Maka sepanjang tahun, kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia (BI) tidak terlepas dari upaya menjaga rupiah dari berbagai 'gebrakan'.
Rapat Dewan Gubernur BI Januari 2024 memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI rate pada level 6%. Suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.
"Keputusan mempertahankan BI-Rate pada level 6,00% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability, yaitu untuk penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers.
Dalam periode tersebut rupiah berada pada tren pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mengutip data dari Refinitiv, dolar bergerak pada level Rp15.500-Rp15.800. Sementara Indeks dolar AS, DXY yang menguat di sekitar 102-103.
Situasi serupa masih berlangsung pada bulan berikutnya. Meskipun tingkat ketidakpastian mulai mereda. Ekonomi global yang tadinya diperkirakan cuma tumbuh 2,8%, naik menjadi 3% seiring dengan perkembangan positif dari AS dan India.
Sayangnya investor masih ragu. Aliran modal bergerak ke luar (capital outflow), rupiah juga terus melemah. BI rate kemudian masih di tahan pada level yang sama.
Masuk ke bulan April situasi makin rumit. Dolar AS menembus level Rp16.000 pada pekan kedua. Pemicunya yaitu memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Tetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan (high for longer) sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve System.
Perkembangan ini dan besarnya kebutuhan utang AS mengakibatkan terus meningkatnya yield US Treasury dan penguatan dolar AS semakin tinggi secara global.
Meski inflasi Indonesia masih terjaga rendah 3,05% (year on year/yoy), BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6,25%. Suku bunga Deposit Facility menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 7%.
Alasan utama BI adalah stabilitas rupiah. BI rate yang tinggi dapat membantu memberikan daya tarik pada imbal hasil sehingga investor tidak memborong semua modalnya ke luar.
Kuatnya dolar AS membuat rupiah tetap dalam tren pelemahan. Pada pertengahan Juni 2024, rupiah sampai menembus level tertinggi, yaitu Rp16.450. Dalam periode tersebut, BI rate masih ditetapkan pada level yang sama.
Selain isu global, permasalahan domestik juga mengambil andil besar dalam pelemahan nilai tukar. Investor cukup was-was, besarnya anggaran kebijakan makan siang gratis membuat utang pemerintahan ke depan membengkak. Sempat ada wacana batas utang dinaikkan dari posisi sekarang 3% terhadap PDB.
Dalam catatan BI, Rupiah melemah 5,92% dari level akhir Desember 2023, lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan Won Korea, Baht Thailand, Peso Meksiko, Real Brazil, dan Yen Jepang masing-masing sebesar 6,78%, 6,92%, 7,89%, 10,63%, dan 10,78%.
"Bank Indonesia terus mengoptimalkan seluruh instrumen moneter termasuk peningkatan intervensi di pasar valas serta penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI."
Situasi berubah ketika memasuki September 2024. Rupiah menguat tajam hingga menyentuh level Rp15.000.
AS menjadi faktor utama. Lesunya ekonomi dan redanya inflasi AS membuat penurunan FFR lebih cepat dan lebih besar dari semula. Yield US Treasury tenor 2 tahun menurun lebih besar sehingga menjadi lebih rendah dari yield US Treasury 10 tahun. Indeks mata uang AS terhadap mata uang negara utama (DXY) juga melemah.
BI sepertinya tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Pada 17-18 September 2024 BI rate turun sebesar 25 bps menjadi 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%.
Keputusan tepat jika mengacu pada data terbaru, namun dianggap terburu-buru karena the Fed belum mengeksekusi penurunan suku bunga. Di samping sederet tantangan masih berpotensi mengancam pasar keuangan dunia dan dalam negeri.
Dalam beberapa rapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan optimisme BI mengenai nilai tukar berbeda dibandingkan dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan. Terutama dalam menetapkan asumsi nilai tukar untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Oktober 2024, situasi global berubah. Ketegangan di Timur Tengah kembali meningkat, ekonomi global diperkirakan melambat dan rilis tingkat pengangguran terkini AS menunjukkan perbaikan di tengah prospek inflasi yang lebih rendah sehingga mendorong ekspektasi pelaku pasar terhadap penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih rendah dari prakiraan semula.
Yield US Treasury tenor 2 dan 10 tahun dan indeks dolar AS (DXY) meningkat. Rupiah pun kemudian kembali melemah. Pertengahan Oktober dolar AS menembus level Rp15.500.
BI tetap dengan respons yang sama. Hanya saja ruang untuk penurunan suku bunga acuan menjadi sangat sempit karena fokus kembali diarahkan terhadap stabilitasi rupiah.
November 2024, Trump menang dalam Pemilihan Presiden AS. Kepanikan kembali terjadi di pasar keuangan. Indonesia pun kena getahnya.
Dolar AS menguat tajam, menghantam hampir seluruh mata uang dunia. Termasuk rupiah.
Hal ini membuat BI mempertahankan suku bunga acuan hingga RDG Desember 2024.
"Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah," kata Perry dalam konferensi pers Desember 2024.
"Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati pergerakan nilai tukar Rupiah dan prospek inflasi serta dinamika kondisi ekonomi yang berkembang, dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga kebijakan lanjutan."
(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Tutup Tahun 2024, Bank Indonesia Tahan Suku Bunga di 6%
Next Article Pengakuan Gubernur BI: Suku Bunga Acuan Harusnya Turun!