Ambisius! China Patok Target Pertumbuhan Ekonomi 5%

16 hours ago 1

Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - China menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% pada 2025. Hal ini terungkap berdasarkan dokumen resmi yang dilihat oleh AFP pada Rabu (5/3/2025).

Target ini dianggap ambisius mengingat tantangan ekonomi kian intens intensif serta permasalahan domestik seperti krisis utang sektor properti dan rendahnya permintaan konsumen.

Target tersebut sejalan dengan survei AFP terhadap para analis menjelang pengumuman resmi oleh Perdana Menteri Li Qiang dalam pidato pembukaan Kongres Rakyat Nasional (NPC) China. Namun, para ahli menilai angka tersebut cukup ambisius mengingat kondisi ekonomi saat ini yang masih menghadapi hambatan signifikan.

Selain itu, pemerintah China juga berkomitmen menciptakan 12 juta lapangan kerja baru di wilayah perkotaan dan menargetkan inflasi sebesar 2% pada 2025. Ribuan delegasi diperkirakan akan menghadiri sesi pembukaan NPC, yang merupakan bagian dari pertemuan "Dua Sesi" yang berlangsung minggu ini.

Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, China masih berjuang untuk memulihkan perekonomiannya pascapandemi. Konsumsi domestik yang melemah dan krisis utang sektor properti yang berkepanjangan menjadi faktor utama yang menghambat pemulihan.

Tekanan eksternal pun makin besar dengan kebijakan tarif baru dari Presiden AS Donald Trump. Minggu ini, Trump kembali menerapkan tarif tambahan terhadap impor China, melanjutkan kebijakan serupa yang diberlakukan bulan lalu.

Langkah ini diperkirakan akan berdampak pada perdagangan antara kedua negara yang mencapai ratusan miliar dolar.

"Secara internasional, perubahan yang belum pernah terjadi dalam satu abad kini berkembang lebih cepat di seluruh dunia," demikian isi laporan kerja pemerintah China.

"Unilateralisme dan proteksionisme meningkat," lanjut laporan tersebut, seraya mengakui bahwa "pondasi pemulihan ekonomi China yang berkelanjutan masih belum cukup kuat."

Perang Dagang Memanas

Meskipun ekspor China mencapai rekor tertinggi tahun lalu, perang dagang yang semakin luas dengan AS berarti China harus mencari sumber pertumbuhan ekonomi lainnya.

Sebagai respons terhadap kebijakan tarif AS, Beijing pada Selasa (4/3/2025) mengumumkan tindakan balasan berupa tarif hingga 15% terhadap berbagai produk pertanian Amerika, termasuk kedelai, daging babi, dan gandum, yang akan mulai berlaku awal pekan depan.

"China akan melawan perang dagang ini sampai titik akhir," tegas pernyataan resmi pemerintah China.

Lynn Song, kepala ekonom untuk Greater China di ING, menyatakan bahwa langkah balasan China masih tergolong moderat dibandingkan tarif menyeluruh yang diberlakukan Trump.

"Retaliasi ini bisa saja jauh lebih kuat. Dengan setiap eskalasi lebih lanjut, risiko meningkat untuk respons yang lebih keras," ujarnya.

Stimulus Tambahan

Para analis memperkirakan bahwa pemerintah China mungkin akan mengumumkan rencana stimulus ekonomi baru dalam minggu ini. Ini akan menambah serangkaian kebijakan dukungan agresif yang telah diumumkan pada akhir tahun lalu.

Namun, beberapa ahli ekonomi memperingatkan bahwa langkah-langkah yang telah ada belum cukup untuk menstabilkan ekonomi China sepenuhnya.

"Panduan dari Beijing menunjukkan bahwa defisit fiskal akan meningkat secara substansial tahun ini," kata Harry Murphy Cruise, kepala ekonom China dan Australia di Moody's Analytics.

"Kami memperkirakan defisit fiskal resmi akan mencapai empat persen dari PDB, naik dari tiga persen sebelumnya, dengan penerbitan obligasi pemerintah khusus dalam jumlah rekor tinggi," tambahnya.

Ketegangan Geopolitik

Selain kebijakan ekonomi, NPC juga diperkirakan akan mengungkap anggaran pertahanan China untuk 2025. Para analis memperkirakan bahwa persaingan geopolitik antara Beijing dan Washington akan semakin intensif di tahun ini.

Salah satu sumber utama ketegangan adalah Taiwan, yang diklaim China sebagai bagian dari wilayahnya. Anggaran pertahanan ini diperkirakan akan digunakan untuk meningkatkan kehadiran militer China di sekitar Taiwan, termasuk pengiriman pesawat militer secara berkala guna menekan otoritas di pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu.

Keputusan ini muncul setelah Trump mengusulkan pemotongan anggaran pertahanan secara terkoordinasi antara AS, Rusia, dan China. Namun, China menolak usulan tersebut.

"Jika ada pengurangan pengeluaran militer, maka Washington harus menjadi yang pertama melakukannya," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri China bulan lalu.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Nasib Batu Bara RI di Tengah Perang Dagang AS Vs China

Next Article Video: PDB China 4,6%, Terendah Terakhir Selama 1,5 Tahun

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|