Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) sudah menyampaikan kepada pemerintah agar sebaiknya rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan di awal Januari 2025 itu sebaiknya dibatalkan ataupun paling tidak ditunda.
"Alasannya adalah karena memang lebih kepada timing daripada rencana pelaksanaan tersebut yang saya kira saat ini kurang tepat. Jadi mungkin dari sisi trafik kunjungan tidak akan terlalu berpengaruh, tetapi yang akan berpengaruh adalah daripada daya beli. Jadi nanti efeknya akan ke penjualan," kata Ketum APPBI Alphonzus Widjaja dikutip Rabu (20/11/2024).
Ia menganggap bahwa jika melihat dari tingkat kunjungan relatif tidak akan terlalu terganggu, hanya saja nanti transaksi ataupun penjualannya akan terganggu. Karena itu sebaiknya kondisi ini ditunda mengingat daya beli masyarakat yang sampai dengan saat ini, khususnya yang kelas menengah bawah itu yang masih dalam posisi tertekan.
"Jadi kondisi masalah daya beli ini saya kira sebetulnya sudah terjadi sejak awal 2024 tahun ini. Hanya saja tertolong di semester 1 2024 itu tertolong dengan banyak momen-momen yang bisa mendukung, yang telah mendukung tingkat penjualan. Seperti di semester 1 itu kan tentunya ada Tahun Baru, kemudian ada Pilpres, Pilpres juga kan berjalan dengan baik, dengan lancar, dengan kondusif, itu juga mendongkrak kinerja usaha di retail," bebernya.
Foto: Sejumlah pengunjung mal melintas disejumlah tenant di Mal Ciputra, Jakarta, Senin, (7/10/2024). Mal Ciputra Jakarta kembali melayani para pengunjung meskipun masih dengan beberapa keterbatasan dan kebijakan khusus. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sejumlah pengunjung mal melintas disejumlah tenant di Mal Ciputra, Jakarta, Senin, (7/10/2024). Mal Ciputra Jakarta kembali melayani para pengunjung meskipun masih dengan beberapa keterbatasan dan kebijakan khusus. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Selain itu ada Imlek, kemudian ada Ramadan dan Idul Fitri yang mana itu adalah merupakan salah satu puncak penjualan retail di Indonesia. Jadi semester 1 itu tertolong, meskipun jika dibandingkan dengan 2023, pertumbuhan di semester 1 2024 tidak signifikan, hanya single digit. Akibat tadi tekanan daya beli masyarakat kelas menengah bawah.
"Setelah Idul Fitri, biasanya memang Indonesia masuk ke low season, selalu seperti itu. Tetapi tahun ini low season-nya lebih dalam, karena memang tadi faktor daya beli masyarakat kelas menengah bawah yang memang menurun. Jadi inilah kondisi-kondisi yang selama ini saat ini kita hadapi," sebut Alphonzus.
Karena itu saran pelaku usaha kepada pemerintah sebaiknya rencana kenaikan PPN ditunda, dimana kebijakan yang berpotensi semakin menurunkan daya beli masyarakat sebaiknya ditunda, ataupun dibatalkan. Pasalnya kondisi ini akan memperberat lagi daya beli masyarakat kelas menengah bawah.
"Seperti misalkan sebelumnya ada isu tapera, yang selain memang peruntukannya tidak jelas, tetapi itu jelas akan mengurangi uang yang dipegang oleh masyarakat, khususnya yang di kelas menengah bawah. Kemudian ada isu asuransi dan sebagainya yang akan dipotong dari STNK dan sebagainya. Saya kira itu semua yang memang harus dikurangi, ditiadakan, ditunda, supaya tidak menambah beban berat masyarakat kelas menengah bawah, termasuk PPN ini," ujar Alphonzus.
"Jadi saya kira itulah alasan-alasan kenapa kami, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia menyampaikan kepada pemerintah untuk membatalkan ataupun menunda rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang rencananya akan diberlakukan di awal Januari 2025," lanjutnya.
(fys/wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pengusaha Teriak! Minta Prabowo Batalkan PPN 12% di 2025
Next Article Bos Mal Kirim Alarm Tapera-PPN 12% Bisa Jadi Borok Warga RI Rem Jajan