Awas #KaburAjaDulu Bisa Bawa Petaka Baru ke RI, BRIN Kasih Peringatan

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Merantau ke luar negeri sempat menjadi tren di Indonesia belakangan ini. Tagar #KaburAjaDulu meramaikan jagat media sosial sebagai bentuk gerakan kolektif yang mengajak kaum muda terdidik pindah ke luar negeri.

Fenomena ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap negara karena pemerintah dinilai tidak serius dalam membantu penciptaan lapangan pekerjaan. Banyaknya persyaratan, PHK yang banyak terjadi, minimnya lapangan pekerjaan, hingga gaji yang kecil mendorong masyarakat berbondong-bondong pindah mencari pekerjaan di luar negeri.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer pun merespon sekaligus menantang bagi yang ingin merantau. Mereka 'dipersilakan' meninggalkan Indonesia.

"Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi," mengutip Theconversation, Sabtu (1/3/2025).

Penulis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dini Dwi Kusumaningrum, Anggi Afriansyah, dan Fikri Muslim memberikan pandangan pada pernyataan tersebut. Hal itu bisa saja memantik emosi masyarakat dan menjadi perkara serius terhadap risiko sumber daya manusia (SDM) Indonesia berkualitas.

Bahkan, besar kemungkinan kaum terdidik benar-benar memutuskan pindah ke luar negeri karena alasan yang memang masuk akal. Hal itu bisa berdampak buruk bagi Indonesia karena dapat kehilangan SDM berkualitas yang seharusnya menjadi dapat menjadi andalan pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Awal Mula #KaburAjaDulu

Menurut data Drone Emprit, tagar #KaburAjaDulu tah beredar di platform X maupun berbagai media berita online sejak September 2023. Fenomena tersebut naik pada pertengahan 2024 dan memuncak pada awal 2025. Tagar ini terlacak diunggah oleh akun @amouraXexa pada 8 Januari 2025 dan viral pada 14 Januari 2025.

Jika ditelisik lebih jauh, profil demografis pengguna berusia antara 19-29 tahun yang meramaikan tagar #KaburAjaDulu sebesar 50,81%. Sementara pengguna berusia kurang dari 18 tahun sebanyak 38,10%. Dari segi gender, separuh lebih #KaburAjaDulu disampaikan oleh laki -laki.

Secara demografis, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2024, terdapat 149,38 juta orang angkatan kerja dengan tingkat pengangguran sebesar 4,82%, atau ada sebanyak 7,2 juta orang yang menganggur.

Sementara itu, pada periode Februari 2024, dari 44,41 juta orang kaum muda (usia 15-24 tahun) di Indonesia, sekitar 19,30% termasuk ke dalam kategori not in education, employment, or training (NEET), alias tidak bersekolah, tidak bekerja, juga tidak sedang mengikuti pelatihan.

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa kondisi lapangan pekerjaan di Indonesia sedang tidak bersahabat bagi generasi muda. Tak heran, jika mereka merasa tidak betah tinggal di negeri sendiri.

Tak main-main, tenaga kerja Indonesia yang memilih bekerja ke luar negeri cukup besar. Mengutip Data Direktorat Jenderal Imigrasi periode 2019-2022 menunjukkan sebanyak 3.912 warga negara Indonesia (WNI) pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura. Sekitar 1.000 mahasiswa Indonesia berusia 25-35 tahun memutuskan menjadi warga negara Singapura setiap tahunnya.

Alasan utama yang mendorong mereka pergi dari Indonesia, yaitu mencari kesempatan kerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik. Selain itu, pertimbangan lainnya meliputi perbandingan upah dan indeks perdamaian di negara lain, termasuk kestabilan politik, tingkat kejahatan, dan kerentanan terhadap bencana alam.

Sayangnya, mereka yang bisa memilih untuk bekerja atau menempuh pendidikan ke luar negeri umumnya hanya kaum terdidik dengan bekal kemampuan yang memadai, memiliki privilese, dan modal sosial untuk memilih karier yang lebih baik.

Dukungan Diaspora RI

Fenomena tersebut juga mendapat social support dari diaspora Indonesia dengan menyediakan informasi persiapan berkarier atau belajar di luar negeri. Hal itu dapat dipahami sebagai bentuk flight response, yaitu sebuah coping mechanism atas situasi yang menekan terlebih ke luar negeri dapat memberikan peluang mobilitas ekonomi dan sosial.

Pemerintah harus waspada karena Bank Dunia dalam "Human Capital Project" menjelaskan bahwa modal sumber daya manusia merupakan faktor kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan.

Pemerintah Indonesia sendiri selalu menegaskan bahwa investasi human capital akan memberikan return of investment tenaga kerja produktif di masa depan.

Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto juga menyatakan, peningkatan kualitas SDM menjadi salah satu faktor untuk meraih generasi emas di tahun 2045. Ini dilakukan melalui penguatan pendidikan, sains dan teknologi, serta digitalisasi.

Penulis BRIN menilai pemerintah tidak perlu merespons fenomena #KaburAjaDulu secara reaktif dan terkesan emosional. Sebab hilangnya SDM berkualitas pada akhirnya akan menghadapkan Indonesia pada bayang-bayang kegagalan memanfaatkan kesempatan untuk memetik bonus demografi.

Jumlah penduduk usia produktif yang besar, tanpa diiringi kualitas yang baik bisa menjadi bumerang bagi pembangunan nasional. Sebanyak apapun jumlah penduduk, bila memiliki kualitas yang baik dapat menjadi modal pembangunan. Sebaliknya, jumlah penduduk yang besar tanpa memiliki kualitas akan menjadi beban berat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan data Sakernas BPS 2023, 29,36% mayoritas lapangan pekerjaan di Indonesia didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Kenyataannya, berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), jumlah siswa SMK terbanyak saat ini justru di bidang keahlian TIK, teknologi dan rekayasa, serta bisnis manajemen dengan total persentase 80%.

Ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dan pekerjaan, baik secara vertikal (undereducation/overeducation) maupun horizontal (tidak sesuai dengan keahlian/pendidikan formal) akan menghambat optimalisasi produktivitas SDM.

Selain itu, dukungan pemerintah melalui beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, harus diiringi dengan upaya menciptakan lapangan pekerjaan maupun iklim usaha yang baik, agar suplai tenaga kerja terserap ke dunia kerja.

Di sisi lain, juga perlu ada perbaikan struktural untuk mendukung iklim pasar kerja melalui perbaikan birokrasi, stabilitas politik dan ekonomi, serta kepastian hukum.

Kejelasan regulasi, koordinasi yang baik antarkementerian/lembaga/pemerintah daerah, disertai kesiapan infrastruktur, serta kualitas sumber daya manusia Indonesia yang terdidik dan sehat akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Jika tidak teratasi, public trust terhadap negara akan semakin memburuk dan menambah kesenjangan sosial yang sudah ada.


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Diaspora Indo-Belanda di AS Terhubung Kembali Melalui Kuliner

Next Article Bawa Solusi Digital, Bank Mandiri Kasih Reward ke Diaspora di Houston

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|