Bahlil: Laporan Bawahan tak Selalu Sama dengan Kondisi Lapangan

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menilai kehadiran langsung pimpinan di lokasi bencana menjadi kunci pengambilan keputusan yang tepat, terutama dalam pemulihan sektor energi pascabencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ia menekankan kondisi riil di lapangan bisa saja berbeda dengan laporan administratif yang diterima di meja kerja.

Bahlil memastikan pemerintah bergerak cepat setelah Presiden Prabowo Subianto memerintahkan para menteri teknis turun langsung menangani dampak bencana di Sumatera. Dari peninjauan lapangan, ia mendapati kerusakan infrastruktur energi berskala besar, mulai dari jalan terputus hingga menara jaringan transmisi listrik yang roboh akibat meluapnya sungai.

“Antara apa yang dilaporkan oleh bawahan belum tentu sama dengan di lapangan,” kata Bahlil di Jakarta, Selasa (30/12/2025).

Ia mengungkapkan sejumlah menara saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) milik PT PLN (Persero) di Aceh tumbang setelah sungai yang semula lebarnya sekitar 150–200 meter meluas hingga ratusan meter, bahkan mendekati satu kilometer. Kondisi tersebut memutus jalur vital penghubung Banda Aceh, Bireuen, hingga Arun, sekaligus menghambat pemulihan listrik ke wilayah konsumen.

Kerusakan serupa terjadi di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Di beberapa daerah, tiang listrik tegangan rendah jatuh, sementara akses darat sama sekali tidak bisa dilalui. Situasi tersebut memaksa PLN dan Kementerian ESDM mengangkut material menara menggunakan helikopter karena jalur darat terputus total, meski jarak lokasi hanya sekitar 1,7 kilometer.

“Kalau pemimpin tidak turun di lapangan, dia tidak tahu apa masalahnya dan keputusan bisa keliru,” ujar Bahlil.

Ia menuturkan proses pengambilan keputusan kerap dilakukan langsung di lokasi terdampak, termasuk di pinggir sungai dan tenda pengungsian. Dari lapangan pula muncul berbagai langkah taktis, seperti penggunaan helikopter untuk mengangkut material, distribusi logistik melalui kapal laut, rakit, sepeda motor, hingga berjalan kaki demi menjangkau daerah terisolasi.

Hasilnya, jaringan tegangan tinggi di Aceh kini telah kembali menyala. Namun, jaringan tegangan rendah masih terkendala akibat jalan rusak dan genangan air. Sekitar 35.000 rumah di lebih dari 200 desa belum teraliri listrik secara normal. Pemerintah kemudian mengirim sekitar 1.000 unit genset dan 3.000 kompor gas sebagai solusi sementara, termasuk untuk kebutuhan di tenda-tenda pengungsian.

“Kalau hanya mengandalkan tegangan tinggi, justru bisa memunculkan musibah baru,” ujar Bahlil, merujuk risiko keselamatan di tengah kondisi infrastruktur yang belum pulih sepenuhnya.

Di sektor bahan bakar minyak (BBM) dan LPG, tantangan serupa muncul akibat distribusi darat yang terhambat. Pasokan energi dialihkan menggunakan kapal laut dan pesawat, dengan koordinasi terpadu antara Kementerian ESDM, PLN, Pertamina, dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Di Aceh Tamiang, dari tujuh SPBU yang terdampak, lima di antaranya telah kembali beroperasi dengan layanan diminta buka 24 jam.

Bahlil menegaskan pengalaman turun langsung ke lokasi bencana membuatnya memahami keterbatasan sekaligus kebutuhan nyata masyarakat. Ia mengaku sengaja menginap di tenda pengungsian bersama jajaran PLN dan Pertamina agar seluruh pengambil keputusan merasakan langsung situasi korban.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|