Jakarta, CNN Indonesia --
Banjir mengepung Jakarta dan sekitarnya dalam dua hari terakhir akibat hujan lebat yang mengguyur. Ribuan warga terpaksa mengungsi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tak cuma rumah warga yang terdampak, tapi fasilitas umum seperti sekolah hingga jembatan juga rusak sehingga tak bisa digunakan sementara.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut kondisi curah hujan tinggi yang terjadi saat ini belum memasuki fase puncak. BMKG memprediksi puncak cuaca ekstrem di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan terjadi pada periode 11 sampai 20 Maret.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BNPB pun melakukan operasi modifikasi cuaca (OMC) di wilayah Jabodetabek mulai 4-8 Maret mendatang. Daerah Jawa Barat disebut akan menjadi fokus utama pelaksanaan OMC untuk mengurangi intensitas curah hujan yang turun.
Pengamat Perkotaan dan Transportasi Yayat Supriatna menilai bencana banjir di Jabodetabek setiap tahun disebabkan pemerintah gagal menyelesaikan akar masalah. Ia berpendapat selama ini sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih sangat minim.
Belum lagi, kata dia, anggaran penanganan banjir yang dikeluarkan pemerintah daerah kerap kali terbatas. Banyak program penanganan banjir tidak bisa sepenuhnya diselesaikan.
"Karena kendala terbesar itu kadang-kadang kita harus akui terletak kepada masalah pembiayaan yang memang agak berat. Menjadi persoalan ketika banyak program-program yang tidak berjalan sepenuhnya," kata Yayat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/3).
Yayat menegaskan penanganan masalah banjir di kawasan Puncak Bogor dan Bekasi tidak akan pernah bisa terselesaikan tanpa melakukan pemulihan daerah sekitar sungai ataupun kawasan hijau yang sudah beralih menjadi pemukiman dan kawasan komersial.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini merupakan dampak banyaknya pelanggaran tata ruang untuk kepentingan ekonomi semata. Ia mencontohkan saat ini banyak sekali area komersial yang dibangun pada kawasan hutan lindung di Puncak.
Sementara itu di Bekasi, kata dia, bencana banjir menjadi sangat parah lantaran di sepanjang aliran sungai justru dibangun pemukiman warga yang menyebabkan hilangnya area resapan air.
"Terjadinya banjir ini merupakan akibat konflik antara tata ruang untuk air dan tata ruang untuk manusia. Sekarang tata ruang untuk air itu sudah habis, tidak ada lagi danau, resapan air, kolam retensi, ataupun tempat parkir air di muara untuk menampung air laut pasang," ucap Yayat.
"Jadi semua ruang untuk air itu hilang. Maka ketika airnya datang, orang di sekitar teriak kebanjiran. Tapi kata air, inikan dulu rumah saya, kenapa kalian malah tinggal di sini," imbuhnya.
Yayat mengatakan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menghentikan banjir yakni dengan menyelesaikan akar masalahnya, yaitu normalisasi aliran sungai serta pemulihan kawasan hijau atau daerah resapan air yang ada di hulu.
Semua itu harus dilakukan secara bersamaan dan menyeluruh. Hanya saja, ia menyebut yang terjadi saat ini adalah penanganan banjir cenderung dilakukan secara terpisah oleh masing-masing daerah.
Dia turut menyoroti kebijakan atau penanganan banjir yang terkesan setengah-setengah. Misalnya normalisasi sungai tanpa adanya relokasi atau pemulihan daerah sekitar sungai ataupun pembongkaran vila-vila liar yang tidak dilanjutkan dengan upaya penghijauan kembali area puncak.
"Pendekatan itu bukan hanya pada secara infrastrukturnya. Tapi juga pada bagaimana pengendalian tata ruang itu menjadi penting. Infrastruktur kita tidak pernah mampu merencanakan mengantisipasi kemungkinan hujan ekstrim dan hujan lebat," ucap Yayat.
"Ketika normalisasi atau menjaga daerah aliran sungai itu tidak pernah dilaksanakan atau dibenahi secara sungguh-sungguh maka potensi kota itu terkena bencana banjir akan sering terjadi," imbuhnya.
Senada, Pengamat Tata Kota Nirwono Joga menilai pemerintah daerah yang ada di kawasan aglomerasi Jabodetabek harus melakukan pembenahan terhadap pemukiman yang ada di sekitar kawasan bantaran sungai. Dengan intensitas curah hujan yang semakin tinggi setiap tahunnya, ia menilai keberadaan tanggul ataupun pengerukan sungai tidak lagi cukup untuk mengatasi banjir.
"Permukiman yang berada tepat di bantaran kali sebaiknya direlokasi ke Rusun terdekat, serta badan sungai harus dikeruk, diperlebar dan kembali dihijaukan sebagai daerah resapan," tuturnya.
Di sisi lain, Nirwono menilai saat ini pemerintah daerah juga sudah harus mulai mempertimbangkan optimalisasi dan pembangunan waduk atupun danau sebagai tempat untuk menampung luapan air sungai. Menurutnya hal itu diperlukan agar dapat mengurangi debit air sungai secara signifikan sehingga tidak meluap dan membanjiri pemukiman.
Tak hanya itu, menurutnya pemerintah juga harus mengharuskan agar setiap pemukiman memiliki sumur resapan di setiap rumah atau ruang terbuka hijau sebagai lokasi penyerapan air hujan. Serta keberadaan saluran air yang baik untuk mengalirkan air hujan menuju Situ/Danau/Embung/Waduk (SDEW) terdekat.
"Seluruh kota harus merehabilitasi seluruh saluran air yang sudah tidak mampu menampung air hujan, saluran air harus diperbesar dimensinya sesuai kelas jalan, saluran air juga harus terhubung dengan SDEW terdekat," tuturnya.
Modifikasi cuaca bukan solusi
Baik Nirwono maupun Yayat mengingatkan bahwa kebijakan modifikasi cuaca yang sering diambil pemerintah tidak akan pernah bisa menyelesaikan akar masalah banjir.
Nirwono mengakui bahwa modifikasi cuaca penting dilakukan untuk mengurangi intensitas hujan dan mendistribusikan ke wilayah lain. Hanya saja ia khawatir pemerintah akan selalu bergantung pada upaya modifikasi cuaca, padahal langkah itu hanyalah solusi jangka pendek semata.
Alih-alih terus mengalokasikan dana untuk melakukan modifikasi cuaca, Yayat menilai pemerintah dapat mengalihkan alokasi dana yang ada untuk membangun infrastruktur penunjang maupun memperbaiki kualitas lingkungan.
"Kalau dari sisi pendekatan proyek, enak sih modifikasi cuaca. Tapi solusi ke depan, enggak tahu kita. Kita hanya mendapatkan sesaat, tapi tidak pernah menyelesaikan masalah utama," kata Nirwono.
(tsa/tfq)