REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena "bilik gema" (echo chamber) dan paparan "pasca-kebenaran" (post-truth) di media sosial kini semakin mengkhawatirkan. Bayangkan sebuah ruangan yang hanya memantulkan suara kita sendiri, begitulah gambaran bilik gema di dunia digital. Pengguna media sosial secara tidak sadar terjebak dalam gelembung informasi yang hanya berisi pandangan-pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Hal ini terjadi karena algoritma media sosial dirancang untuk menyajikan konten yang disukai pengguna. Tujuannya sederhana: agar kita betah berlama-lama di platform tersebut. Alhasil, pandangan yang berbeda atau bertentangan secara halus tersaring keluar, dan kita pun hidup dalam lingkungan informasi yang seragam, dikelilingi oleh "gema" dari pendapat kita sendiri.
Dampak terbesarnya adalah mengerasnya keyakinan dan terjadinya polarisasi sosial. Ketika seseorang terus menerus hanya mendengar pendapat yang sama, keyakinannya bisa menjadi semakin ekstrem dan sulit diubah. Ini menciptakan masyarakat yang terpecah-pecah, di mana kelompok yang berbeda kesulitan berkomunikasi karena memiliki "fakta" yang berbeda.
Bagi individu, bilik gema merampas kemampuan berpikir kritis. Pengguna menjadi kurang terlatih dalam mengevaluasi informasi secara objektif karena terbiasa dengan konten yang tidak menantang pemikiran mereka. Akibatnya, mereka lebih mudah percaya pada hoaks dan disinformasi, selama informasi itu sesuai dengan perasaan mereka.
Dalam skala yang lebih luas, fenomena ini mengancam stabilitas sosial dan demokrasi. Polarisasi yang tajam dapat memicu ketegangan politik, mempersulit pencapaian kesepakatan dalam isu-isu penting, dan bahkan berpotensi memicu konflik.
Lingkungan di mana "yang benar bisa dianggap salah, dan yang salah bisa dianggap benar" menciptakan ketidakpercayaan terhadap institusi, media mainstream, dan sesama warga. Pada akhirnya, ini merusak kohesi sosial secara fundamental.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkominfo) Nezar Patria mengingatkan bahaya laten ini. Media sosial yang awalnya dijanjikan sebagai ruang keterbukaan, justru menciptakan sekat-sekat baru yang memecah belah masyarakat.
Menurut Nezar, akar masalahnya ada pada cara kerja platform media sosial. Setiap platform berusaha keras mempertahankan penggunanya dengan menyuguhkan konten yang sesuai selera pengguna, berdasarkan algoritma yang mempelajari setiap interaksi kita, apa yang kita sukai, tonton, atau komentari.
sumber : Antara

3 hours ago
2













































