Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah. Pada Desember 2024 nilainya mencapai US$ 155,72 miliar, melampaui catatan rekor tertingginya pada Oktober 2024 yang sebesar US$ 151,23 miliar.
Di sisi lain, cadangan mata uang asing yang menjadi bagian dari cadangan devisa juga mencatatkan rekor terbaru dalam tahun ini, sebesar US$ 140,17 miliar, jauh lebih tinggi dari posisi per Oktober 2024 yang sudah sebesar US$ 135,06 miliar.
"Ini mencerminkan upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan komposisi foreign reserve currencies, yang kini mencapai total US$ 140 miliar," kata Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang, Rabu (8/1/2024).
Hosianna memperkirakan, cadangan devisa Indonesia ke depan akan terus tumbuh, didukung penerbitan obligasi global pemerintah yang baru-baru ini senilai US$ 1,5 miliar sampai dengan US$ 1,75 miliar. Penerbitan global bond ini akan dieksekusi pada 15 Januari 2025.
Bank Indonesia juga mencatat, lonjakan cadangan devisa pada Desember 2024 terutama didorong oleh penerimaan pajak dan jasa, penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, dan arus masuk devisa dari sektor minyak dan gas.
Hosianna mengatakan, meski cadangan devisa saat ini makin bertumbuh, tidak serta merta akan membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ke depan akan kembali menguat di level kisaran Rp 15.000/US$, setelah terus bergerak di kisaran US$ 16.200/US$ beberapa waktu terakhir.
Menurutnya, pergerakan kurs rupiah sepanjang tahun ini masih akan dipengaruhi penguatan indeks dolar AS atau DXY. Indeks itu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor global, termasuk kebijakan moneter AS dan transisi kepemimpinan di AS, terutama dengan kembalinya kebijakan ekonomi dari pemerintahan Trump 2.0.
"Sejarah menunjukkan bahwa penguatan DXY cenderung berdampak negatif terhadap mayoritas mata uang Asia, termasuk rupiah, yang terus mengalami pelemahan terhadap dolar AS," tegasnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah China yang membiarkan yuan melemah secara terkontrol juga turut mempengaruhi dinamika pasar, mengingat ketegangan perdagangan antara AS dan China yang kembali mencuat setelah Donald Trump kembali menduduki kursi Presiden AS.
Menurut Hosianna, pada periode 2016-2018, yuan telah melemah sekitar 6% akibat tarif impor yang diterapkan oleh Trump saat pertama kali menjabat sebagai Presiden AS. Rupiah juga turut terdepresiasi pada periode tersebut. Fenomena serupa ia anggap bisa terjadi lagi tahun ini.
Dengan adanya tekanan dari penguatan DXY dan dinamika global ini, Hosianna menganggap, BI kemungkinan besar akan tetap menjaga suku bunga di level yang cukup tinggi, yaitu sekitar 6%, dengan kemungkinan penurunan yang terbatas, mungkin ke 5,75%.
"Oleh karena itu, kami perkirakan pergerakan rupiah akan berada dalam kisaran Rp 16.000 hingga Rp 16.400 terhadap USD, tergantung pada situasi pasar global dan respons BI terhadap kebijakan moneter AS," tegasnya.
Meskipun BI berusaha menjaga stabilitas ekonomi domestik, Hosianna menekankan, pengaruh faktor eksternal seperti penguatan dolar dan kebijakan global tetap akan mempengaruhi rupiah sepanjang tahun ini.
(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Tutup Tahun 2024, Bank Indonesia Tahan Suku Bunga di 6%
Next Article Cadangan Devisa RI Tembus Rekor Tertinggi US$150,2 M di Agustus 2024