Jakarta, CNBC Indonesia - Aparat Thailand dan China berhasil mengungkap sindikat penipuan transnasional di wilayah perbatasan Myanmar. Namun, para pengamat menilai langkah ini belum cukup untuk membendung maraknya kejahatan penipuan di Asia Tenggara.
Mengutip cna.id, Sabtu (29/3/2025), sindikat penipuan tersebut beroperasi di Myanmar, Kamboja, dan Laos, dan sebagian besar dikendalikan oleh warga China.
Mereka diketahui meraup miliaran dolar setiap tahun dengan mengeksploitasi serta memperbudak korban dari berbagai negara.
Para pekerja yang menjadi korban umumnya direkrut dengan janji pekerjaan di bidang IT dengan gaji tinggi. Namun justru terjebak di dalam bisnis penipuan online.
Mulai dari penipuan di Facebook dan WhatsApp, dengan modus penjualan real estate, investasi palsu, hingga asmara. Mereka dipekerjakan di sebuah kompleks yang tak tersentuh aparat di daerah yang dulunya hutan, di jantung kota-kota pinggiran Myanmar.
Menurut para ahli, Thailand meningkatkan upaya pemberantasan kejahatan ini setelah mendapat tekanan dari China. Dalam beberapa pekan terakhir, Thailand mematikan listrik dan akses telekomunikasi ke kompleks penipu di Myawaddy di pojok perbatasan Myanmar.
Dimatikannya listrik bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra ke China pada 5-8 Februari lalu untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping yang salah satunya membahas masalah penipuan.
Thailand juga mengerahkan tentara ke jalan perbatasan yang digunakan gembong penipuan. Perintah penangkapan juga dikeluarkan terhadap para pemimpin militan yang menguasai daerah Myanmar yang tengah dilanda perang saudara.
Langkah ini membuahkan pembebasan terhadap ribuan pekerja industri penipuan di Myawaddy, yang terletak dekat dengan kota Mae Sot di Thailand.
Warga China yang dibebaskan telah dipulangkan ke kampung halaman mereka akhir bulan lalu. Ribuan orang dari berbagai negara yang saat ini berada di Myanmar juga masih menunggu jadwal pemulangan.
Para pengamat mengatakan, China memang meningkatkan penggerebekan industri penipuan di wilayah tenggara Myanmar. Namun demikian, fokus mereka adalah menyelamatkan warga negara sendiri dan mengincar dalang kejahatan itu di dalam negeri.
"Dari yang saya lihat sekarang, tidak ada alasan China akan melakukan reformasi atau mengurangi operasi," kata Jacob Sims, salah satu pendiri Operation Shamrock, sebuah gerakan perlawanan terhadap epidemi global "jagal babi".
Jagal babi sendiri merupakan istilah untuk penipuan asmara dan investasi, ketika para penipu membangun hubungan dengan korban dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya melancarkan aksinya.
Operasi penggerebekan industri penipuan oleh kedua negara dilakukan menyusul penculikan terhadap aktor China Wang Xing yang diperdaya untuk pergi ke Myanmar saat bertandang ke Thailand pada Januari lalu.
Permohonan untuk pembebasannya lantas viral di media sosial China. Hal ini kemudian berujung pada perundingan antara aparat Thailand dan Myanmar yang akhirnya berhasil membebaskan Wang.
Nathan Paul Southern, Direktur Operasional EyeWitness Project, lembaga yang menyelidiki industri penipuan di Asia Tenggara membeberkan sejak saat itu, China dan Thailand merasakan bahwa pemberantasan industri penipuan telah menjadi kepentingan mereka.
"Thailand tidak ingin negara mereka dianggap tidak aman atau rawan penculikan, sementara China ingin memperlihatkan kepada rakyatnya bahwa negara melindungi mereka," kata dia.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kemlu Sebut 525 WNI Korban TPPO Masih di Myanmar
Next Article Aktor China Diculik di Bangkok, Dibawa ke Zona Perang Tetangga RI