Climate Analytics: CCS Bisa Picu Kenaikan Emisi Asia hingga 25 Miliar Ton pada 2050

3 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, berencana memanfaatkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) sebagai bagian dari upaya mengatasi emisi gas rumah kaca. Namun, pemanfaatan teknologi tersebut dinilai berpotensi meningkatkan emisi kawasan hingga 25 miliar ton pada 2050, yang justru membawa Asia semakin jauh dari target iklim yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

Dalam laporan terbarunya, Climate Analytics mengungkapkan bahwa meski negara-negara berhasil memasang teknologi CCS sesuai skenario kapasitas tinggi, yakni diterapkan pada 23 persen energi fosil pada 2030 dan 68 persen pada 2050, Asia tetap menghadapi risiko besar. Sebab, meskipun diklaim mampu menangkap emisi hingga 95 persen, kenyataannya kinerja CCS rata-rata hanya mampu menangkap sekitar 50 persen emisi.

Artinya, separuh emisi tetap dilepaskan ke atmosfer. Dengan kinerja yang rendah ini, laporan berjudul The Global Climate Risks of Asia's Expensive Carbon Capture and Storage Plans tersebut menyebutkan bahwa pemanfaatan CCS justru menciptakan emisi tambahan sebesar 24,9 gigaton karbon dioksida ekuivalen atau setara 24,9 miliar ton pada 2050, terdiri atas 21,9 gigaton karbon dioksida dan 3 gigaton metana.

Di sisi lain, terdapat kemungkinan besar Asia gagal mencapai skenario CCS kapasitas tinggi, mengingat banyaknya proyek CCS di dunia yang tidak berjalan sesuai target. Jika hal ini terjadi, peningkatan emisi di kawasan akan lebih besar lagi.

Pasalnya, meskipun kemudian negara-negara Asia menghentikan rencana pemanfaatan CCS, pengalihan sumber daya yang telah dilakukan untuk mendukung teknologi ini membuat Asia terjebak pada kapasitas energi fosil yang tinggi dan risiko aset terlantar (stranded asset) yang signifikan.

Negara-negara seperti China, India, Jepang, Korea, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapura, serta mitra global yang menerapkan teknologi CCS di masa mendatang, akan menyumbang lebih dari separuh emisi bahan bakar fosil dan gas rumah kaca dunia.

“Kami menemukan negara-negara di Asia akan semakin meningkatkan dukungan terhadap CCS untuk mengatasi emisi dari bahan bakar fosil. Namun, alih-alih mereduksi emisi, teknologi ini justru berisiko mengunci wilayah ini pada ketergantungan energi fosil, meningkatkan biaya stranded asset, serta berisiko bagi upaya global mencapai batas pemanasan iklim 1,5 derajat Celcius,” kata Analis Climate Analytics, James Bowen, dalam pernyataannya, Senin (20/10/2025).

Climate Analytics mencatat Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara Asia yang paling aktif mendorong teknologi CCS. Keduanya memberikan dukungan finansial dan regulasi yang signifikan, baik untuk proyek di dalam negeri maupun di luar negeri, serta berupaya menguasai pasar teknologi tersebut.

Padahal, sebagai negara dengan perekonomian paling matang di Asia, Jepang dan Korea Selatan memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung pencapaian target Perjanjian Paris. Di sisi lain, banyak negara di Asia Tenggara berupaya memposisikan diri sebagai pusat penyimpanan dan transit karbon.

Demi memfasilitasi investasi CCS di wilayahnya, sejumlah negara bahkan telah menyesuaikan kebijakannya, termasuk Indonesia. Indonesia menjadi salah satu negara yang menerbitkan payung hukum implementasi CCS melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.

Aturan tersebut diperkuat dengan turunan berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No 16 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penyimpanan Karbon pada Wilayah Izin Penyimpanan Karbon dalam rangka Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Meskipun industri bahan bakar fosil dan pemerintah sejumlah negara mempromosikan CCS sebagai solusi mitigasi iklim yang layak, teknologi tersebut dinilai gagal, baik secara teknis maupun ekonomi.

Climate Analytics menilai bahwa selain hanya mampu menyerap emisi dalam jumlah rendah, penerapan teknologi CCS juga memerlukan biaya yang sangat tinggi. Teknologi ini kalah ekonomis dibandingkan dengan penerapan mitigasi iklim melalui ekspansi energi terbarukan.

“Asia berada di persimpangan jalan. Meskipun negara-negara ini belum memanfaatkan teknologi CCS dalam kapasitas besar, banyak yang telah menyesuaikan kebijakan CCS mereka untuk melindungi industri bahan bakar fosil. Namun ini adalah strategi yang sangat berisiko, tidak hanya bagi Perjanjian Paris, tetapi juga bagi perekonomian negara tersebut,” kata CEO Climate Analytics, Bill Hare.

Climate Analytics juga menyebutkan, pemanfaatan CCS di sektor ketenagalistrikan secara global diperkirakan menghasilkan biaya listrik dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan energi terbarukan yang didukung teknologi penyimpanan. Artinya, energi terbarukan justru mampu menekan biaya energi sekaligus mengurangi emisi.

Negara-negara di Asia pun telah merasakan manfaat nyata dari pemanfaatan energi terbarukan. China, India, Korea Selatan, dan Filipina mengalami penurunan biaya listrik tenaga surya (PLTS) pada 2017, disusul Vietnam pada 2019 serta Indonesia dan Jepang pada 2021. Negara-negara Asia menyumbang lebih dari separuh penghematan bahan bakar dari energi terbarukan dengan nilai sekitar 29 miliar dolar AS pada 2023.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|