Jakarta, CNBC Indonesia - Lebih kurang seratus warga Tionghoa dari Bekasi hingga Tanjung Priok ditahan otoritas keamanan. Mereka dituduh akan menguasai Jakarta (dulu Batavia) dan mengalahkan dominasi pemerintah.
Di luar sana, kabar penangkapan sepihak membuat warga Tionghoa lain geram. Mereka mulai angkat senjata demi membebaskan kawan yang tak bisa merayakan Tahun Baru China bersama keluarga. Perlawanan ini kemudian membuat pemerintah makin represif.
Akibatnya, makin banyak warga Tionghoa ditahan dan semua ini berujung pada kejadian berdarah dalam sejarah, yakni pembantaian warga Tionghoa oleh pemerintah VOC tahun 1740.
Pembantaian Tionghoa
Pada tahun tersebut, warga Tionghoa yang lebih dulu hadir dibanding orang Belanda memiliki populasi jauh lebih banyak. Total ada 4-10 ribu warga. Masalahnya, pemerintah VOC melihatnya sebagai ancaman. VOC menganggap warga Tionghoa yang mudah membaur dan pandai berdagang bisa menggantikan pengaruh pemerintah.
Maka, dibuat berbagai kebijakan untuk membatasi ruang gerak warga Tionghoa, salah satunya penangkapan tanpa dasar. Selain penangkapan, VOC juga mengirim orang-orang Tionghoa lain ke berbagai koloni Belanda.
Ketika ini terjadi, beredar gosip bahwa orang Tionghoa yang dibawa pergi akan dibuang di tengah laut. Praktis, mereka menjadi takut dan menyusun rencana penyerangan. Willem G.J. Remmelink dalam Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743 (2002) menceritakan, para warga Tionghoa mulai angkat senjata dan menyerang berbagai tempat yang dimiliki VOC.
Ini semua membuat gesekan makin besar. Apalagi, mereka terbukti melakukan pembunuhan terhadap 50 tentara Belanda. Kabar kematian ini membuat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier marah besar. Dia melakukan pembalasan dengan mengirimkan pasukan bersenjata jauh lebih besar.
Sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999) menceritakan, pada Oktober 1940, ratusan tentara menyerang ribuan warga Tionghoa, baik bersenjata atau tidak. Mereka tak peduli perempuan, anak-anak, bayi, lansia, kondisi sakit atau sehat. Prinsipnya, jika dia orang Tionghoa, maka harus dibunuh.
Maka, terjadilah pembantaian besar-besaran. Ada yang dibunuh di tempat. Ada juga yang ditangkap untuk dipenggal di halaman Balai Kota Batavia. Pembantaian berlangsung setidaknya hingga 22 Oktober 1740. Total ada 10 ribu warga tewas. Ini belum memperhitungkan dampak lanjutan imbas bara api kebencian yang terus menyala.
Parahnya lagi, pembantaian dan kegiatan pembersihan lanjutan tak hanya dilakukan tentara Belanda, kaum pribumi dari berbagai suku dan agama juga melakukan hal sama imbas dikompori VOC. Dengan demikian jumlah korban sudah pasti lebih dari 10 ribu warga. Belum lagi, rumah-rumah dan tempat niaga mereka juga dibakar.
Saking banyaknya korban, salah satu orang Belanda menyebut kalau seluruh jalanan dan gang di Batavia dipenuhi mayat. Bahkan, sungai-sungai berubah warna menjadi merah karena darah. Saking penuhnya, saat orang menyeberangi sungai, tak akan tenggelam dan basah. Sebab berjalan di atas tumpukan mayat.
Sejarah kemudian mencatat kejadian ini sebagai geger pecinan dan jadi peristiwa kelam di Indonesia.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: China Cetak Rekor Perjalanan Mudik Saat Imlek
Next Article Video: Zulhas Pastikan Stok Pangan Untuk Imlek Hingga Lebaran Aman