Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, investasi senilai ratusan juta dolar AS bakal masuk sektor hulu tekstil nasional. Hal itu, kata dia, hasil yang ditimbulkan efek domino kebijakan tarif bea masuk (BM) impor yang ditetapkan Presiden AS Donald Trump pada April 2025 lalu.
Dia mengatakan, kebijakan Trump menaikkan tarif dasar BM dan memberlakukan tarif timbal balik (resiprokal), tidak hanya mengubah peta persaingan dagang. Tapi juga peta investasi, termasuk di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Saat ini, pemberlakuan tarif itu sedang ditunda selama 90 hari, sejak 10 April 2025.
"Ada beberapa rencana investasi baru dan reaktivasi kapasitas produksi di sektor hulu tekstil, khususnya polyester akibat perubahan peta ini," katanya dalam keterangan resmi diterima CNBC Indonesia, Senin (28/4/2025).
Redma mengungkapkan, akan ada 3 anggota APSyFI siap mereaktivasi kapasitas produksi di tahun ini. Dan, ada 1 perusahaan PMA (penanaman modal asing) yang akan masuk dan mulai beroperasi tahun depan.
"Secara keseluruhan akan memberikan tambahan produksi 190 ribu serat polyester, 250 ribu POY dan 50 ribu DTY dengan total investasi sekitar US$250 juta (setara Rp4,2 triliun dengan kurs hari Jumat, 25 April 2025, Rp16.825) Ini belum termasuk 2 PMA lain di sektor hulu yang juga tengah menjajagi potensi untuk relokasi," beber Redma.
"Rencana investasi dan reaktivasi kapasitas produksi ini menguat setelah Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan memastikan bahwa importasi TPT tetap memerlukan PI (Persetujuan Impor) dan Pertek (Pertimbangan Teknis). Serta, rencana pemerintah menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) benang filament (POY-DTY) pascarekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (BMAD) menyusul sebelumnya BMAD serat polyester serat safeguard benang pintal, kain tenun dan rajut serta karpet," ungkapnya.
Dia mengatakan, perusahaan-perusahaan itu menargetkan pasar ekspor ke AS. Juga membidik pasar domestik karena sudah mempertimbangkan besarnya konsumsi di dalam negeri.
Menurut Redma, konsumsi serat polyester dan filament nasional di tahun 2024 memang hanya sekitar 880 ribu ton dengan share impor sebesar 54%.
"Namun konsumsi pada saat kondisi normal bisa mencapai 1,4 juta ton," ujarnya.
(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Pengusaha Tekstil Khawatir RI Banjir Produk Dumping & Ilegal
Next Article Mendag Mau Evaluasi Peraturan yang Dianggap Menyiksa Industri Tekstil