Hilal atau anak bulan penentu awal bulan Ramadan belum terlihat di Surabaya. Hal itu berdasarkan pantauan yang dilakukan Observatorium Astronomi Sunan Ampel (OASA) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Sunan Ampel (Uinsa) Surabaya, Jumat (28/2).
Penanggung Jawab OASA Uinsa, Novi Sopwan mengatakan, berdasarkan pantauan pihaknya hilal berada pada ketinggian 3,7 derajat dengan elongasi 5,7 derajat. Artinya hal itu belum memenuhi kriteria imkanur rukyat yang ditetapkan NU, yakni minimal 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat.
"Jika dilihat dari visibilitas hilal, itu hilalnya sangat sulit, ditambah cuaca beberapa jam yang lalu disini hujan dan di sini masih mendung," kata Novi.
Dengan kondisi terzebut, Novi menyatakan, hilal akan sangat sulit untuk terlihat di Kota Pahlawan. Hal tersebut juga ditegaskannya berdasarkan pengalaman rukyatul hilal pada tahun-tahun sebelumnya.
"Dari pengalaman kami memang hilalnya sangat sulit, ditambah cuaca yang sulit kemungkinan besar kita akan sulit melihat dari Surabaya," ucapnya.
Ia juga mengatakan, secara teoritis, hilal kemungkinan besar hanya terlihat di wilayah paling barat dari Indonesia, seperti Aceh.
"Memang secara teoritis, hanya Aceh yang kemungkinan bisa melihat hilal. Untuk di Surabaya, kemungkinan kecil terlihat bahkan mustahil mungkin secara teoritis hilal dapat dilihat," pungkasnya.
Sebelumnya, Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Jawa Timur melakukan pemantauan atau rukyatul hilal untuk menentukan awal Ramadan 1446 Hijriah di 35 titik se-Jatim. Meski demikian, potensi hilal diprediksi masih sangat minim terlihat.
Ketua LFNU Jawa Timur, Kiai Syamsul Ma'arif, mengatakan pemantauan hilal itu dilakukan menjelang sore hari nanti saat tenggelamnya matahari, Jumat (28/2).
"Lembaga Falakiyah NU Jawa Timur bagian dari departementasi dari NU dari Jatim kita kondisikan teman-teman Lembaga Falakiyah se-Jatim ada 35 titik lokasi untuk pemantauan rukyatul hilal nanti sore," kata Syamsul kepada CNNIndonesia.com.
Syamsul menuturkan, di Jatim hilal diprediksi minim terlihat karena masih berada di ketinggian 3 derajat dengan elongasi atau jarak sudut matahari dan bulan 5,6 derajat. Sementara ketinggian dan elongasi tersebut belum memenuhi kriteria imkanur rukyat NU, yaitu minimal 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat.
"Dari ketinggian dan elongasi tersebut masih belum mencapai kriteria imkanur rukyat 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Sehingga di Jawa Timur, potensi hilal terlihat itu amat minim," ucapnya.
Karena itu ia juga belum bisa memastikan apakah hilal bakal bisa terlihat di Jawa Timur atau Surabaya, sore nanti. Pasalnya, pihaknya tetap berpedoman pada rukyatul hilal bil fi'li, atau observasi visibilitas hilal di lapangan. Faktor cuaca juga jadi kendala.
"Mengapa, Karena sekarang beberapa hari ini cuaca kan tidak mendukung. Hujan, mendung dan sebagainya," ucapnya.
Bila hilal tidak terlihat, Syamsul mengatakan pihaknya bakal mengikuti prosedur yang berlaku. Ia juga menegaskan, NU tidak akan mendahului keputusan sidang isbat Kementerian Agama dalam menentukan awal Ramadan.
"Laporan dari LFNU Cabang akan disampaikan ke PWNU Jawa Timur, kemudian ke PBNU, dan dibawa ke sidang isbat sebagai bahan musyawarah penetapan awal 1 Ramadan," ujarnya.
NU selalu konsisten dengan prinsip rukyatul hilal. Namun, berdasarkan pengalaman penentuan Ramadan sebelumnya jika hilal belum terlihat, kata dia, maka diberlakukan istikmal atau menggenapkan bulan Sha'ban menjadi 30 hari.
"Bilamana hilal tidak terlihat karena secara astronomi hilal masih rendah di bawah kriteria atau di bawah ufuk, maka nanti bisa menjadikan alasan istikmal atau menggenapkan bulan Sha'ban," ucapnya.
Di sisi lain, kata Syamsul, wilayah yang diprediksi sudah bisa melihat hilal adalah Aceh. Di daerah itu kriteria imkanur rukyat sudah terpenuhi, dengan ketinggian hilal lebih dari 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.