Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya melaju 4,87% secara tahunan atau year on year (yoy). Angka ini menurun jika dibandingkan kuartal IV-2024. Alhasil, ekonomi Indonesia terkontraksi 0,98% pada awal tahun ini.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai perlambatan ini menjadi alarm bagi pertumbuhan ekonomi nasional ke depan. Indef pun menilai terdapat delapan pertanda gawat melambatnya pertumbuhan ekonomi RI.
Pertama, dalam catatan Indef, Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah tanpa lompatan industrialisasi menjadikan Indonesia rentan terhadap dinamika eksternal. Pasalnya, saat ini ketidakpastian global semakin meningkat dengan adanya tarif impor dari Presiden AS, Donald Trump.
"Pemerintah terlihat tidak cukup agresif dalam merespons tren perlambatan ekonomi global ini dengan strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing manufaktur berbasis teknologi tinggi," dikutip dalam keterangan resmi Indef, Rabu (7/5/2025).
Kedua, volatilitas harga komoditas menciptakan risiko ekonomi domestik "dual shocks" bagi Indonesia. Yakni satu sisi, positive revenue shock dari lonjakan harga batubara dan minyak mentah yang berpotensi menambah penerimaan devisa dan royalti, namun sifatnya temporer dan tidak inklusif.
Sisi lain, negative margin shock dari anjloknya harga nikel dan CPO yang berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di daerah berbasis tambang dan perkebunan.
Ketiga, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2025 sebesar 4,87% merupakan ancaman stagnasi ekonomi. Indek menilai, pelemahan ini bukan sekadar akibat global, tapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural. Ketidakefisienan belanja fiskal, minimnya dorongan produktivitas sektoral, dan stagnansi investasi swasta masih 'wait and see'.
Keempat, investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah memperlihatkan bahwa daya dorong utama pertumbuhan lumpuh. Kelima, pemerintah terlihat masih belum berhasil mendorong sektor-sektor penting untuk hilirisasi, seperti manufaktur dan pertambangan yang menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan nilai tambah besar dan berkelanjutan.
Keenam, suku bunga kebijakan (BI Rate), suku bunga SRBI, dan yield SBN naik mendorong migrasi likuiditas perekonomian mengarah pada aset-aset berimbal hasil tinggi.
"Situasi diperparah dengan kebijakan efisiensi anggaran yang 'kebablasan' sehingga semakin menyusutkan perputaran likuiditas di sektor riil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," tulisnya.
Selanjutnya, semakin lemahnya dukungan sektor keuangan bagi peningkatan aktivitas sektor riil yang ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini tercermin dari laju kredit Maret 2025 menurun ke 8,7%, sebelumnya di Februari tumbuh 9,7%. Padahal, pada Maret 2025 ada momentum Ramadan dan Lebaran.
Terakhir, pemerintah belum memiliki kebijakan optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal tepat sasaran, dan dukungan ekosistem industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Di saat ekonomi global sedang mengalami ketidakpastian, maka Indonesia perlu melihat potensi ekonomi domestik. Pemerintah juga perlu menguatkan fungsi stimulus fiskal yang berdampak langsung terhadap konsumsi, serta perlunya industri pengolahan mendapat dukungan dari berbagai sektor yang menjadi ekosistem industri," ujarnya.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Alarm Bahaya Menyala! Ekonomi RI Tumbuh di Bawah Ekspektasi
Next Article Saat Dunia Suram, Ekonomi RI Diramal Tetap Cerah di 2025!