Indonesia, Palestina, dan Masa Depan Diplomasi Global

1 hour ago 5

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute dan  Ketua Divisi Tabligh Global MTPP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato Presiden Prabowo Subianto di forum internasional mengenai tragedi Gaza dan masa depan Palestina–Israel di Sidang Umum PBB pada 22 September 2025 menjadi salah satu pernyataan paling strategis dalam politik luar negeri Indonesia tahun 2025. Berbeda dengan retorika emosional yang biasanya mendominasi wacana Palestina, Presiden Prabowo mengedepankan narasi diplomasi yang moderat, pragmatis, namun tetap tegas. 

Ia menegaskan kembali komitmen Indonesia pada Two-State Solution, mengutuk kekerasan terhadap warga sipil, serta menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengambil bagian dalam misi penjaga perdamaian. Namun, yang paling menarik adalah pernyataan eksplisit bahwa Indonesia akan mengakui Israel jika negara itu terlebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina. 

Formulasi ini merupakan tawaran diplomasi yang jarang muncul dari pemimpin dunia Muslim: realistis, tetapi tetap konsisten pada prinsip keadilan. Untuk memahami makna dan dampak pidato tersebut, kita dapat melihatnya melalui analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats).

Kekuatan: Kepemimpinan Moral dan Moderasi Diplomasi

Pidato Prabowo menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan kepemimpinan moral dalam isu kemanusiaan global. Seruan menghentikan genosida di Gaza, dikemas dengan bahasa universal seperti “human family” dan “peace now”, membuat pesan ini dapat diterima lintas budaya dan politik.

Selain itu, Indonesia tampil tidak hanya sebagai komentator, tetapi juga aktor aktif: menyatakan kesediaan mengirim pasukan penjaga perdamaian dengan mandat PBB. Sikap ini meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata komunitas internasional, khususnya di tengah puncak kelelahan dan ‘kemarahan’ global menghadapi genosida Gaza yang berkepanjangan.

Kelemahan: Kontroversi Domestik dan Keterbatasan Realisme Politik

Meski visioner, pidato tersebut menyimpan potensi kontroversi hingga penolakan di dalam negeri. Janji pengakuan Israel—meskipun bersyarat—dapat ditafsirkan sebagai kompromi terlalu jauh oleh sebagian kelompok Islam. Dari sisi realisme politik, Prabowo masih bertumpu pada Two-State Solution yang di lapangan semakin sulit diwujudkan. 

Media internasional banyak mengutip pernyataan Netanyahu yang menanggapi langkah beberapa negara mengakui negara Palestina, “There will be no Palestinian state west of the Jordan River” — “Tidak akan ada negara Palestina di barat Sungai Yordan”. Ia juga menyatakan bahwa pengakuan oleh negara-negara Barat adalah “reward for terrorism” (hadiah bagi terorisme). Netanyahu menjanjikan respons setelah kembali dari AS, dan menyebut akan memperkuat permukiman di Tepi Barat sebagai bagian dari tanggapan terhadap pengakuan negara Palestina. 

Dengan pemerintah Israel yang didominasi sayap kanan ekstrem dan proyek aneksasi Tepi Barat yang kian agresif, visi “dua negara” yang hidup rukun berdampingan kerap dianggap utopis dan mimpi di siang bolong. Tidak lain akibat ulah pemerintahan Israel sendiri yang didukung tanpa syarat oleh pemerintah Amerika Serikat.

Peluang: Momentum Global untuk Palestina

Pidato Prabowo datang pada ‘timing’ yang strategis: menjelang Sidang Umum PBB ke-80, di mana banyak negara Eropa dan Barat mulai memberikan pengakuan resmi terhadap Palestina. Indonesia bisa menggunakan momentum ini untuk memperkuat peran diplomasi multipolar, menjembatani dunia Islam dan Barat, sekaligus membangun reputasi sebagai mediator yang kredibel.

Bahkan, dengan tawaran pengakuan Israel, Indonesia berpotensi menjadi “honest broker” yang mampu mendialogkan kepentingan dua pihak. Jika dimaksimalkan, ini bisa memperkuat posisi Indonesia tidak hanya di PBB, tetapi juga dalam forum-forum global seperti BRICS+ atau G20.

Ancaman: Resistensi Israel–AS dan Beban Implementasi

Di sisi lain, pidato ini bisa memicu reaksi keras dari Israel dan Amerika Serikat. Israel mungkin menafsirkan pernyataan itu sebagai tekanan politik, sementara AS bisa menganggapnya sebagai pergeseran Indonesia dari orbit tradisional sekutu Barat.

Selain itu, ekspektasi dunia kini meningkat. Setelah pidato yang penuh janji, publik internasional bisa menuntut langkah nyata dari Indonesia. Jika tidak diikuti dengan strategi diplomasi konkret, kredibilitas Indonesia bisa tergerus.

Secara keseluruhan, pidato Presiden Prabowo mencerminkan strategi diplomasi moderat-progresif: tegas pada prinsip keadilan, tetapi tetap membuka jalan pragmatis menuju rekonsiliasi. Indonesia menegaskan diri sebagai negara yang tidak sekadar bersuara, tetapi siap berperan aktif dalam misi perdamaian.

Namun, jalan menuju Palestina merdeka tetap panjang. Kuncinya bukan hanya pada pengakuan formal di PBB, tetapi juga pada tiga faktor. Pertama, reformasi struktural PBB agar hak veto tidak lagi menjadi penghalang. Kemudian, kerentanan internal Israel, baik dari sisi politik maupun sosial-ekonomi. Terakhir, transformasi tatanan global menuju multipolaritas yang mengurangi dominasi AS.

Dalam lanskap dunia yang berubah cepat, pidato Prabowo bisa menjadi fondasi baru bagi diplomasi Indonesia: bukan hanya “suara Asia Tenggara”, tetapi juga “penjaga moral dunia” yang berani menawarkan jalan damai yang realistis.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|