Ini Biang Kerok Industri Tekstil RI "Berdarah-darah", Awas Tsunami PHK

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia tengah menghadapi tekanan besar. Banjirnya barang impor yang tak terkendali dan lemahnya daya saing telah membuat banyak pabrik kesulitan bertahan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil mengungkapkan, setidaknya ada lebih dari sepuluh perusahaan TPT kini dalam kondisi kritis dan terancam tutup.

Ketika dikonfirmasi soal kabar ada dua pabrik yang mengalami tekanan berat dan terancam tutup selain Sritex, Farhan menegaskan, jumlahnya jauh lebih banyak.

"Sebenarnya banyak ya, nggak cuma dua yang memang lagi under pressure soal tekanan impor ini, apalagi karena masalah daya saing. Nggak cuma dua sebenarnya, banyak yang mengeluhkan terkait dengan market yang kurang mendukung industrinya," ungkap Farhan kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/3/2025).

Menurutnya, industri tekstil yang selama ini bergantung pada pasar domestik kini kesulitan bertahan karena membanjirnya produk impor yang tidak terkendali. Hal ini menyebabkan banyak pabrik harus mencari pasar alternatif di luar negeri dengan mengandalkan ekspor, meskipun solusi ini bersifat sementara.

"Orientasinya sekarang di ekspor karena mereka nggak bisa jualan di domestik lagi. Tapi pasar ekspor ini ibarat ya hanya sementara, karena kalau ada geopolitik sedikit saja keganggu," ujarnya.

Farhan menegaskan bahwa impor tekstil perlu dikontrol, agar tidak semakin menghancurkan industri dalam negeri.

"Harus dikontrol sih sebetulnya. Kita nggak anti-impor. Kalau misalnya memang produknya nggak dibuat di sini, itu nggak apa-apa mau impor. Cuma harus dikontrol. Kalau nggak ada kontrolnya, ya bakal seperti ini terus," tegas dia.

Ia pun mendorong pemerintah untuk menerapkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara optimal, baik dalam belanja pemerintah maupun sektor swasta, termasuk BUMN. "Kita ngedorong banget nih pemerintah supaya seenggaknya TKDN-nya bisa diterapkan dengan optimal," tambahnya.

PHK Massal Jadi Ancaman Nyata

Dampak buruk dari krisis ini sudah terlihat jelas dalam angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meningkat. Berdasarkan data APSyFI, sejak tahun 2019 hingga 2023, sekitar 214 ribu pekerja tekstil (di luar sektor garmen) telah kehilangan pekerjaannya. Pada tahun 2023, jumlah tenaga kerja di sektor TPT tercatat sebanyak 3.765 juta orang.

Namun, situasi memburuk drastis pada tahun 2024. Di mana berdasarkan data APSyFI per Januari-Oktober 2024, ada sekitar 319 ribu pekerja TPT yang kehilangan pekerjaan. Artinya, jumlah tenaga kerja di industri TPT per Oktober 2024 hanya tinggal 3.446 juta orang.

Di tengah gelombang PHK ini, pemerintah mengklaim, penciptaan lapangan kerja baru lebih besar dibandingkan jumlah pekerja yang di-PHK. Merespons hal itu, Farhan menilai hal itu bisa menjadi peluang untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih profesional dan berpengalaman.

"Pasti, karena bagi industri tekstil ini kesempatan untuk dapat tenaga kerja yang lebih profesional dan berpengalaman," pungkasnya.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Sritex Tutup Total, Semua Karyawan Terakhir Kerja Hari Ini

Next Article Malapetaka Hantam Buruh Tekstil, Pabrik Tutup Lagi-Sritex Pailit

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|