Intip Nasib Bank Kecil dan Menengah RI di Tengah Perang Likuiditas

1 month ago 26

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri perbankan Indonesia mencatatkan kinerja yang kurang menggembirakan sepanjang 2024. Bank-bank besar hanya mampu mencatatkan pertumbuhan laba yang minim.

Kondisi tersebut terjadi lantaran perbankan RI harus bersaing memperebutkan likuiditas antara satu sama lain dan juga dengan pemerintah. Hal ini sebagai konsekuensi, beban bunga melonjak tinggi.

Sementara itu, bank-bank kecil menengah menjadi korban yang paling terdampak dari kondisi ini. Mereka harus berusaha keras bersaing dengan bank-bank besar.

Meskipun sebagian besar masih mampu mencetak laba dan dana pihak ketiga (DPK), beban bunga melonjak amat tinggi dan efisiensi tergerus.

Seperti bank pelat merah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) yang mencatatkan penurunan laba sebesar 14,1% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 3 triliun pada tahun ini. Beban bunga tercatat melonjak 22% yoy.

Kemudian, efisiensi kerja bank itu juga menurun dengan rasio Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) membengkak menjadi 88,70%. Rasio BOPO digunakan untuk mengukur efisiensi dan kinerja sebuah bank dengan membandingkan beban operasional dan pendapatan operasional. Semakin besar besaran BOPO, semakin menurun kinerja keuangan bank.

Efisiensi BTN juga menurun pada indikator lainnya, yakni rasio beban operasional terhadap pendapatan bunga bersih atau cost to income ratio (CIR) yang membengkak menjadi 57,15% tahun lalu. Umumnya, bank yang sehat memiliki rasio CIR di bawah 50%.

PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jakarta alias Bank DKI juga mencatatkan penurunan laba sebesar 23,62% yoy menjadi Rp779,09 miliar pada akhir tahun lalu. DPK Bank DKI pun hanya mampu tumbuh di bawah 1%, yakni 0,71% yoy menjadi Rp64,08 triliun.

Walaupun beban bunga Bank DKI dapat terjaga dengan kenaikan 0,60% yoy, efisiensi kinerja menurun dengan BOPO dan CIR naik, masing-masing menjadi 84,98% dan 62,27%.

Kondisi serupa juga dialami oleh bank daerah lainnya, yakni PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara alias Bank Sumut, dengan pertumbuhan laba hanya sebesar 0,09% yoy menjadi Rp740,72 miliar pada tahun 2024. Pertumbuhan DPK juga seret, hanya 1,76% yoy menjadi Rp33,20 triliun, dengan beban bunga melonjak 15,51% yoy.

Sekalipun, PT Bank Capital Tbk. (BACA) berhasil menurunkan beban bunganya sebesar 0,42% yoy, DPK hanya mampu tumbuh 0,42% yoy menjadi Rp12,57 triliun pada 2024. Bank itu memang mencetak kenaikan laba 7,48% menjadi Rp109,38 miliar, namun efisiensi kinerja bank itu masih buruk. Dengan BOPO dan CIR tercatat di posisi masing-masing 97,13% dan 97,21%.

Bank-bank berukuran menengah yang mampu mencetak pertumbuhan double digit pada bottom line dan pendanaan, juga harus mengorbankan efisiensi kinerjanya.

Seperti PT Bank OCBC NISP Tbk. (NISP) yang mampu mencatatkan laba naik 18,9% menjadi Rp 4,86 triliun di tahun 2024. Sementara DPK bertumbuh melampaui industri, sebesar 11,46% yoyo menjadi Rp205,93 triliun.

Namun, pertumbuhan beban bunga OCBC Indonesia sebesar 16,68% yoy, melebihi besaran pertumbuhan DPK dan nyaris mendekati besaran pertumbuhan laba. BOPO dan CIR juga masih bengkak, masing-masing 70,97% dan 50,87%.

Hal serupa juga dialami oleh bank syariah terbesar RI, PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS), yang saat ini masih menguasai market share perbankan syariah nasional. Laba BSI tercatat sebesar Rp7,01 triliun pada tahun 2024, melesat 22,83% yoy jauh melampaui ketiga bank BUMN pengendalinya.

Kendati begitu, beban bagi hasil BSI melesat lebih tinggi lagi, sebesar 31,73% yoy. Kinerja BSI juga masih tidak efisien dengan rasio BOPO dan CIR masing-masing 69,93% dan 50,89%.

Pengamat perbankan Paul Sutaryono memaparkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa jumlah kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (dicairkan) atau undisbursed loan (UL) bank umum tampak naik 6,6% (yoy) per November 2024. Hal itu menjadi salah satu indikator bahwa pendapatan dari bunga kredit kurang optimal.

Belum lagi ditambah ketika rasio BOPO yang juga naik. Menurut Paul, ambang batas BOPO adalah 70%-80%.

"Tetapi bank saat ini memang sedang bersaing ketat dalam menghimpun dana masyarakat dengan surat utang atau obligasi pemerintah. Mengapa? Karena bunga obligasi seperti ORI (obligasi negara ritel) yang sekitar 6% itu jauh lebih besar daripada bunga deposito bank," kata Paul.

Maka demikian, biaya pendanaan bank untuk dapat menyaingi imbal hasil obligasi pemerintah jadi mahal. Menurut Paul, bank umum bakal menggenjot pendapatan non operasional alias fee-based income guna mengimbangi pendapatan bunga kredit yang menipis.


(ven/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: "Berebut" Likuiditas Era Trump Jilid II, Perbankan Harus Apa?

Next Article Ketakutan Jokowi di Akhir Jabatan Makin Nyata, Sudah Disorot DPR

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|