Oleh Rizky Suryarandia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan tangan dilakukan Nia saat hendak membeli kopi. Sang barista pun membalasnya dengan gerakan tangan. Tak ada suara. Tak ada bunyi dalam percakapan itu. Tapi segelas kopi tersaji untuk Nia bawa pulang.
Situasi itu merupakan hal yang lumrah terjadi di Difabis Coffe and Tea di Terowongan Kendal, Dukuh Atas, Jakarta Pusat dekat stasiun Sudirman. Sebagian pekerja disana merupakan teman tuli.
Ia tak keberatan dengan para teman tuli yang bekerja disana. Nia meyakini mereka berhak bekerja sesuai yang diinginkan.
"Nggak masalah sih kalau harus bicara dengan mereka pakai isyarat, nggak bikin pesanan jadi lama juga, malah jadi pengalaman beda kalau kesini," kata Nia saat ditemui Republika di Difabis Coffee and Tea, belum lama ini.
Nia bukan merupakan pengguna bahasa isyarat yang fasih. Tapi Nia mengaku mencoba bahasa isyarat tiap ngopi disana.
"Saya nggak jago, ini juga masih coba-coba aja sekalian belajar karena disini mereka (pegawainya) ramah-ramah," ujar Nia.
Fajar Malik merupakan salah satu Barista yang sehari-hari meracik kopi dan teh disana. Pria berusia 27 tahun itu merasa senang punya kesempatan mengembangkan diri di Difabis Coffee & Tea.
"Saya sudah 4 tahun jadi barista karena tertarik memahami jenis kopi, cara pembuatan, dan teknik latte art," kata Fajar.
Perbincangan Republika dengan Fajar sejatinya bukan perkara mudah. Republika menggunakan teks untuk memudahkan sesi wawancara karena tak memahami bahasa isyarat. Sedangkan Fajar tinggal membaca pertanyaan itu, menjawabnya dengan bahasa isyarat sekaligus menulis jawabannya.
Selama menjadi Barista, Fajar mengaku mendapat tantangan pengetahuan soal kopi. Fajar pun mesti banyak belajar keterampilan teknis dalam menyajikan berbagai menu kopi.
"Kalau saya paling cocok dengan minum Americano," ujar Fajar.
Ada belasan menu kopi dan teh di Difabis Coffee and Tea yang ditawarkan dari harga Rp 8 ribu hingga 22 ribu. Republika sempat mencicipi varian kopi pandan latte dingin di harga Rp 20 ribu. Rasa kopi, pandan, dan susunya berpadu ciamik dalam tiap tegukan. "Kalau disini best seller-nya Butterscotch (latte)," ujar Fajar.
Fajar mengaku tak ada kendala dalam melayani para pelanggan. Para pelanggan tak ada komplain dengan teman tuli yang menjadi barista. Menurut Fajar, momen menggunakan bahasa isyaratlah yang menjadi daya tarik Difabis Coffee and Tea.
"Barista menggunakan Bahasa isyarat, menunjukkan papannya, berkomunikasi yang pelan-pelan untuk pelanggan," ujar Fajar.
Fajar memang kesulitan mendengar. Tapi hal itulah yang menyelamatkannya dari pekatnya hiruk pikuk dunia yang begitu ramai. Fajar tak masalah hidup dalam kesunyian.
"Sunyi bagi saya merasa tenang dan damai," ujar Fajar.
Terlepas dari keheningan yang dilalui setiap hari, Fajar punya mimpi besar yang membuat pikirannya ramai. Fajar suatu hari nanti ingin punya cafe sendiri.
"Saya mimpi aku ingin punya perusahaan kafe baru untuk masa depan seperti ini," ujar Fajar.