Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka-bukaan alasan di balik anjloknya harga nikel dunia dalam beberapa waktu terakhir ini. Adapun, banjir pasokan di pasar internasional menjadi salah satu penyebab dari penurunan harga komoditas tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno membeberkan bahwa saat ini terdapat kelebihan pasokan nikel di pasar global. Tak tanggung-tanggung volumenya hingga 350 ribu ton.
"Bisa jadi oversupply, bisa jadi. Memang faktanya memang ada over 350 ribu ton di international market. Antara, ya, Pak, angka fix-nya berapa, tapi antaranya 350-an lah ribu ton nikel," kata Tri dalam RDP bersama Komisi XII DPR RI, dikutip Rabu (7/5/2025).
Namun, selain ditentukan oleh faktor supply and demand, harga komoditas mineral juga sangat dipengaruhi oleh kondisi geopolitik global. Misalnya saja untuk nikel, ekspor RI sebagian besar ditujukan ke China
Sementara, saat ini perang dagang antara China dan Amerika Serikat telah berdampak pada pertumbuhan industri di China yang sedikit melambat. Kondisi tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap permintaan nikel dari Indonesia.
"Pada saat sekarang ini, perang dagang antara China dan Amerika menyebabkan memang pertumbuhan untuk industri di China itu agak turun. Nah, ini mungkin bisa jadi ada korelasi juga antara anunya," kata dia.
Sebelumnya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa membludaknya pasokan nikel dari Indonesia telah berdampak pada jatuhnya harga nikel di pasar global.
Semula, Meidy menilai bahwa periode 2022 merupakan masa kejayaan industri nikel dengan harga yang relatif tinggi. Namun demikian, sejak 2023 hingga 2024 harga nikel justru terus mengalami penurunan.
"Dalam perhitungan harga dari 2020 hingga 2025, kita melihat bahwa tahun 2022 merupakan masa kejayaan industri nikel. Namun, sejak 2023 hingga 2024, harga terus mengalami fluktuasi yang berdampak pada penerimaan royalti," kata Meidy dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, Senin (17/3/2025).
Menurut Meidy, harga referensi domestik (HPM) juga berbeda 40-50% dibandingkan harga internasional. Sejak 2017-2020, Asosiasi telah berjuang agar harga berbasis HPM diakui dalam regulasi. Meski HPM telah ditetapkan, transaksi di pasar masih mengalami kendala.
Untuk mengatasi persoalan ini, APNI bersama dengan berbagai kementerian terkait terus mendorong penerapan sistem transaksi berbasis Free on Board (FOB).
"Dengan Kemenko Marves waktu itu. Kemenko Marves udah selesai ya. Kemudian juga ada bagaimana melakukan transaksi berbasis FOB. Apa? Karena itu berpengaruh kepada penerimaan negara dari sisi royalti," katanya.
Di sisi lain, Meidy menyampaikan bahwa sejak 2022, pihaknya telah mengingatkan tentang kapasitas produksi nikel yang berlebih. Namun, alih-alih melakukan pembatasan, pemerintah justru memberikan persetujuan terhadap smelter baru.
"Luar biasa loh smelter ini. Gila beneran. Nambah terus-nambah terus. Padahal tahun 2022 APNI sudah berteriak. Pak moratorium pak. Tapi masih aja sampai sekarang," katanya.
(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Royalti Nikel & Minerba Naik! Pengusaha Makin Tercekik?
Next Article Ada Ancaman Baru, Hilirisasi Nikel Harus Dipercepat!