Foto ilustrasi warga miskin di Indonesia dibuat menggunakan Artifical Intelligence ChatGPT.
Harianjogja.com, JOGJA—Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengukur garis kemiskinan. Di DIY garis kemiskinan Maret 2025 sebesar Rp626.363 per kapita per bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp457.221 atau 73 persen dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp169.142 atau 27 persen.
Secara persentase jumlah penduduk miskin di DIY pada Maret 2025 mencapai 10,23 persen, turun 0,17 persen poin dibandingkan September 2024.
Sementara dalam mengukur kemiskinan Bank Dunia memiliki tiga pendekatan, yakni untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem 2,15 dolar AS per kapita per hari, negara-negara berpendapatan menengah bawah 3,65 dolar AS per kapita per hari, dan untuk negara-negara berpendapatan menengah atas 6,85 dolar AS per kapita per hari.
BACA JUGA: Anak Kelainan Metabolisme Butuh Susu Formula
Kemudian dikonversi dalam dolar AS PPP atau purchasing power parity, di mana per 1 dolar AS PPP 2024 setara dengan Rp5.993,03. Sehingga didapatkan angka kemiskinan Indonesia 60,3 persen.
Lalu kenapa BPS tidak menggunakan versi Bank Dunia dalam mengukur kemiskinan?
Kepala BPS DIY, Herum Fajarwati mengatakan dalam mengukur kemiskinan Bank Dunia membandingkan antar negara, jadi dengan satu metode. Sementara secara kesepakatan internasional, suatu negara diperkenankan mengembangkan metode dengan pendekatan.
Tidak hanya Indonesia, menurutnya beberapa negara juga menggunakan pendekatan pengeluaran dan survei dari rumah ke rumah. Sehingga yang digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Sementara Bank Dunia menggolongkan negara dengan pendapatan rendah, sedang, dan tinggi.
"Kalau survei Bank Dunia ini metodenya untuk membandingkan antar negara, jadi gak mungkin survei dari rumah ke rumah," ucapnya, Selasa (5/8/2025).
Menurutnya Indonesia masuk ke dalam negara berpendapatan sedang, namun posisinya mendekati batas rendah. Untuk menentukan besaran pengeluarannya Bank Dunia menggunakan rata-rata dari terendah dan tertinggi, karena Indonesia masih mendekati batas terendah maka angka kemiskinannya tinggi.
Jika menggunakan versi Bank Dunia dari 100 orang yang masuk kategori miskin ada 60 an orang. Sementara dengan data BPS di DIY dari 100 orang kurang lebih ada 10 yang masuk kategori miskin.
"Yang perlu dipahami caranya beda, dari rata-rata negara yang kategori pendapatan sedang, garis bawah berapa, tertinggi berapa dirata-rata," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, sepanjang bisa memahami cara menghitungnya maka sah-sah saja Bank Dunia mau menggolongkan penduduk atau negara dengan kemiskinan sekian persen. Serta menggolongkan mana saja negara-negara berpendapatan rendah.
"Sepanjang kita memahami cara menghitungnya ya sah-sah saja," lanjutnya.
Sebelumnya, Ketua Komtap Pembinaan dan Pengembangan Sekretariat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, Timotius Apriyanto mendorong agar standar kemiskinan Indonesia mengikuti versi Bank Dunia sehingga bisa selaras.
Ia menyampaikan mestinya ada konsensus terkait hal ini karena menyangkut kebijakan politik. Indonesia mau mengikuti standar Bank Dunia atau membuat standar sendiri. Bicara kemiskinan, kata Timotius, banyak aspek di dalamnya. Dari sisi ekonomi pembangunan, pendidikan, kesejahteraan sosial, ketenagakerjaan, hingga budaya.
"Apakah BPS bisa gunakan angka dan metode Bank Dunia apa enggak, kalau satu masalah ini tidak diselesaikan akan timbul masalah lain, angkanya beda dan pendekatan aksinya beda," jelasnya. (**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News