Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia Financial Watch (IFW) menyoroti kepastian hukum bisnis dan investasi terkait dengan kasus Fireworks Ventures Limited yang hingga kini belum bisa menikmati hasil investasinya sejak 2005 karena terkendala sengketa hukum berlarut-larut.
Abraham Runga Mali, Koordinator IFW, memaparkan bahwa Fireworks Ventures Limited mungkin tidak pernah menduga bahwa langkahnya membeli dan kemudian menerima pengalihan hak tagih (cessie) dari PT Millenium Atlantic Securities (MAS) pada tahun 2005 atas utang PT Geria Wijaya Prestige (GWP) akan memunculkan masalah.
"Sebagai investor yang berniat baik, Fireworks Ventures Limited tak kunjung bisa menikmati hasil investasinya yang sudah dilakukan nyaris sejak 20 tahun lalu. Ini masalah besar dalam kepastian hukum bisnis dan investasi di Tanah Air," tegas Abraham, Senin (30/12/2024).
Persoalan bermula ketika PT MAS yang memenangkan lelang aset kredit macet PT GWP (pemilik dan pengelola Hotel Kuta Paradiso di Bali) dalam Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tahun 2004 ternyata tidak mendapatkan dokumen jaminan kredit berupa rangkaian tiga sertifikat yang menjadi agunan atau jaminan pinjaman.
Situasi ini menempatkan Fireworks dalam posisi yang sulit meskipun telah menjadi pemegang hak tagih atau kreditur tunggal PT GWP menggantikan BPPN. Tanpa sertifikat tersebut, Fireworks tidak bisa melakukan transaksi apapun dengan GWP sebagai debiturnya.
Untuk memperkuat posisinya sebagai pemegang hak tagih yang sah, Fireworks berusaha melacak keberadaan tiga sertifikat HGB milik GWP. Setelah ditelusuri, didapatkan informasi bahwa ketiga sertifikat tersebut telah diserahkan Bank Danamon ke Bank Multicor pada tahun 2007.
Fireworks mencium adanya indikasi dugaan penggelapan terkait sertifikat-sertifikat tersebut. Akhirnya, pada September 2016, Fireworks melaporkan kasus dugaan penggelapan sertifikat GWP ini ke Bareskrim Polri.
Laporan ini membuahkan hasil dengan ditetapkannya dua tersangka, yaitu Tohir Sutanto (mantan Direktur PT Bank Multicor) dan Priska M. Cahya (karyawan Bank Danamon), dalam kasus dugaan penggelapan tersebut. Namun, belakangan, kasus ini di-SP-3 karena dianggap sebagai perkara perdata.
Bank Multicor sendiri (kini telah berganti nama menjadi PT Bank China Construction Bank Indonesia/CCBI), menyatakan bahwa ketiga sertifikat tersebut dikelola secara sah oleh pihaknya sebagai agen jaminan dan agen fasilitas sindikasi kreditur.
Sementara Bank Danamon pernah menyatakan bahwa penyerahan tiga sertifikat kepada Bank Multicor dilakukan karena Bank Danamon, setelah merger dengan Bank PDFCI selaku agen jaminan dan agen fasilitas sindikasi kreditur GWP, tidak memiliki kepentingan apapun lagi terhadap dokumen tersebut.
Di sisi lain, pihak Fireworks berpendapat bahwa baik Bank Danamon maupun Bank CCBI tidak memiliki hak atau kewenangan untuk memegang serta mengelola sertifikat-sertifikat GWP tersebut sejak sindikasi kreditur GWP menyerahkan seluruh kewenangannya kepada BPPN.
Hal ini terungkap dalam dokumen Kesepakatan Bersama tertanggal 8 November 2000, yang ditandatangani oleh seluruh anggota sindikasi kreditur, termasuk Bank Multicor, Bank Arta Niaga Kencana Tbk, Bank Finconesia, Bank Indovest (Dalam Likuidasi), BPPN, dan Bank Danamon Indonesia.
Dalam kesepakatan tersebut, seluruh anggota sindikasi memberikan mandat penuh kepada BPPN untuk menangani segala hal yang berkaitan dengan kredit GWP. Sebagai tindak lanjut dari mandat tersebut, pada tahun 2001, Bank Danamon selaku agen jaminan dan agen fasilitas diwajibkan menyerahkan seluruh dokumen jaminan kredit kepada BPPN, termasuk sertifikat-sertifikat GWP. Namun, kenyataannya, tiga sertifikat tersebut malah diserahkan oleh Bank Danamon kepada Bank Multicor, yang kini menjadi Bank CCBI.
Pada tahun 2000, BPPN sempat meletakkan sita eksekusi atas aset GWP. Namun, setelah menjual aset kredit macet GWP melalui PPAK VI pada tahun 2004, BPPN mencabut sita eksekusi tersebut beberapa bulan kemudian.
Abraham Runga yang dikenal sebagai mantan jurnalis senior bidang bisnis dan finansial itu menilai sengkarut perkara yang membelit Fireworks Ventures Limited menggambarkan kompleksitas yang muncul dari pengelolaan aset-aset kredit macet dan alur pengalihan hak tagih yang melibatkan banyak pihak. Konflik ini juga menyoroti pentingnya pengelolaan dokumen jaminan kredit yang transparan dan akuntabel, terutama ketika melibatkan institusi besar seperti BPPN, bank sindikasi, dan perusahaan pengelola aset.
Dengan langkah hukum yang telah ditempuh, Fireworks berharap dapat menyelesaikan permasalahan ini dan memperoleh kepastian hukum terkait status sertifikat GWP yang menjadi agunan dalam kasus tersebut.
Terakhir, klaim Fireworks sebagai pemegang hak tagih tunggal yang sah atas piutang PT GWP dikuatkan Mahkamah Agung pada 13 Desember 2022 yang menolak permohonan Peninjauan Kembali Bank CCBI terhadap gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilayangkan Fireworks. Namun, Bank CCBI belakangan diketahui mengajukan permohonan PK II, meski PN Jakarta Utara sempat mengeluarkan penetapan menolak permohonan tersebut karena berkas memorinya dinilai senyatanya hanya pengulangan dari PK sebelumnya.
"Semestinya para penegak hukum memperhatikan aspek kepastian hukum bisnis dan investasi, sehingga investor seperti Fireworks tidak terombang-ambing dan dirugikan lebih dalam," kata Abraham.
(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini: