Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli buka-bukaan merespons akar persoalan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Ia menegaskan, salah satu penyebab utama PHK adalah daya saing industri nasional yang masih lemah, terutama akibat rendahnya produktivitas tenaga kerja.
"Produktivitas menjadi pendorong daya saing industri kita. Kalau saya sering sampaikan, salah satu penyebab PHK adalah karena memang daya saing kita yang kurang, resilience (ketangguhan)-nya lemah. Daya saing kurang itu salah satu faktornya," ujar Yassierli dalam acara Peluncuran Dokumen Master Plan Produktivitas Nasional di kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, daya saing yang rendah tidak bisa dilepaskan dari kemampuan industri dan tenaga kerja dalam memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan produk yang efisien, murah, dan berkualitas tinggi.
"Faktornya banyak. Maka produktivitas dari industri kita, juga kemampuan kita untuk menggunakan resources (sumber daya) yang tersedia, kemudian menghasilkan produk yang lebih murah, lebih efisien, kemudian berkualitas lebih baik. Dan itu semua menggambarkan produktivitas dalam konteks ini," paparnya.
Yassierli juga mengingatkan pentingnya momentum bonus demografi yang tengah dinikmati Indonesia. Menurutnya, jika tidak diiringi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja, potensi bonus demografi justru bisa menjadi beban bagi ekonomi nasional.
"Bapak dan Ibu, kita juga diingatkan terkait dengan bonus demografi. Bonus demografi ini harus kita sambut, kita songsong agar memberikan value (nilai) bagi bangsa ini, adalah dengan tenaga kerja yang berkualitas," tegas dia.
Lebih jauh, ia menyinggung kaitan antara produktivitas total faktor (total factor productivity/TFP) dengan pertumbuhan ekonomi (GDP). Sebagai catatan, TFP merupakan pendorong nyata di balik pertumbuhan ekonomi, yang muncul dari inovasi, kemajuan teknologi, hingga peningkatan keterampilan pekerja.
Yassierli menilai, peningkatan produktivitas nasional harus menjadi perhatian bersama jika Indonesia ingin benar-benar mencapai target Indonesia Emas 2045.
"Termasuk juga kemudian Indonesia Emas 2045, ada korelasi antara total factor productivity dengan GDP itu sendiri, sehingga kemudian menjadi fokus bersama," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, dunia usaha memprediksi tren pemutusan hubungan kerja (PHK) masih akan terus berlanjut hingga penghujung 2025.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyebut fenomena ini bukan lagi sekadar peristiwa musiman, melainkan telah menjadi gejala serius yang memerlukan perhatian menyeluruh.
"Ini memang sudah dirasakan juga dari survei yang dibuat oleh Apindo. Jadi kita sama-sama sepakat bahwa ini bukan hanya sekadar PHK biasa, tapi ini memang PHK sedang benar-benar berjalan dan masih terus bergulir," ujar Shinta dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Merujuk data BPJS Ketenagakerjaan, Shinta mengatakan, tercatat sebanyak 150 ribu pekerja telah terkena PHK selama Januari hingga Juni 2025. Dari jumlah tersebut, lebih dari 100 ribu orang sudah mengajukan klaim manfaat jaminan.
Angka ini, katanya, belum termasuk catatan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menggunakan basis data tersendiri.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BPJS Beberkan Dana JKP Melonjak Sampai April, Gegara PHK?