Obat Tradisional Vs Obat Modern, Mana yang Lebih Baik?

2 hours ago 4

Image Nayla Tatsbita

Gaya Hidup | 2025-11-06 15:32:20

Sumber: Google

Di Indonesia, kepercayaan bahwa apa yang alami pasti aman sudah mengakar kuat. Tren back to nature telah mendorong masyarakat untuk beralih ke obat tradisional, memanfaatkan kekayaan hayati negeri ini. Namun, di tengah gelombang antusiasme ini, muncul perdebatan usang mengenai mana yang lebih unggul, obat tradisional atau obat modern?

Setelah menelaah isu ini dari perspektif kesehatan masyarakat yang berbasis bukti, saya berpendapat bahwa perdebatan “Tradisional vs. Modern” adalah sebuah pertentangan yang sering terjadi. Pengobatan yang optimal tidak boleh hanya didasarkan pada asal-usulnya, apakah kimia atau herbal. Ia harus didasarkan pada satu prinsip yaitu, bukti ilmiah. Mengabaikan standar ini dikarenakan tradisi, terutama ketika menghadapi penyakit serius.

Inti perbedaan antara obat modern dan mayoritas obat tradisional terletak pada validasi. Obat modern dibangun di atas presisi atau yang dimana dosisnya jelas, terkontrol, dan harus lolos uji klinis komprehensif. Standar terpentingnya adalah suatu obat harus benar-benar terbukti bekerja daripada sekadar efek plasebo yaitu, perbaikan yang muncul hanya karena pasien percaya pada pengobatan tersebut, padahal obat itu tidak mengandung zat aktif. Jika obat gagal melewati uji ini, maka khasiatnya diragukan.

Sementara itu, obat tradisional, seperti jamu, yang paling populer dan paling mudah diakses. Obat seperti ini hanya berlandaskan pada bukti empiris atau turun-temurun. Jika keampuhannya tidak dapat dibedakan dari efek plasebo, pasien yang memilihnya berisiko menunda atau meninggalkan terapi konvensional yang telah teruji, dengan konsekuensi yang fatal.

Ancaman terbesar bagi konsumen obat tradisional di Indonesia bukanlah herbal itu sendiri, melainkan praktik kriminal yaitu, pemalsuan bahan kimia obat.

Pemasok ilegal menyasar dua klaim utama yaitu, peningkatan stamina pria dan pereda pegal linu. Biasanya mereka mencampurkan zat seperti Sildenafil Sitrat untuk stamina atau Kortikosteroid seperti Deksametason untuk pereda nyeri. Efek instan dari bahan kimia ini disalahartikan oleh konsumen sebagai khasiat herbal yang luar biasa. Padahal, konsumsi BKO atau Bahan Kimia Obat tanpa dosis terkontrol dan tanpa pengawasan medis dapat memicu dampak kesehatan yang sangat serius, mulai dari stroke, serangan jantung, kehilangan penglihatan dan pendengaran, hingga kerusakan hati, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Ini adalah racun mematikan yang berkedok herbal.

Risiko klinis dapat diperparah lagi oleh kurangnya transparansi antara pasien dan dokter. Seperti pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe 2, misalnya, sering menambahkan obat herbal ke rejimen antidiabetik oral karena takut efek samping obat modern. Penelitian menunjukkan 59.3% pasien DM yang mengombinasikan obat modern dan herbal mengalami episode hipoglikemia, jauh lebih tinggi dari 24.4% yang tidak mengonsumsi herbal. Ini adalah efek yang berbahaya. Masalahnya diperparah lagi karena kesenjangan komunikasi, pasien tidak memberitahu dokter bahwa mereka menggunakan obat tradisional, dan karena dokter juga tidak proaktif menanyakan. Kesenjangan komunikasi ini menciptakan blind spot yang membuat dokter tidak dapat memantau interaksi. Pasien kemudian menyalahkan obat modern atas efek sampingnya, seperti hipoglikemia yang dipicu oleh interaksi herbal yang tidak dilaporkan.

Debat Obat Tradisional vs. Obat Modern adalah sebuah pengalihan isu, karena kedua pihak memiliki keunggulan, yang dimana obat modern dalam presisi dan validasi, sementara obat tradisional dalam aksesibilitas dan nilai budaya. Kita harus menghentikan penggunaan jamu yang belum terbukti. Kita harus bersikap tegas terhadap ancaman BKO. Kita harus memajukan Fitofarmaka. Hanya dengan mengedepankan bukti ilmiah sebagai satu-satunya kriteria, kita dapat menciptakan sistem kesehatan yang optimal, aman, dan memanfaatkan kekayaan hayati Indonesia secara bertanggung jawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Ekonomi | Asset | Lokal | Tech|