Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berpotensi menghadapi banyak tekanan pada tahun ini, setelah sejak 2 Januari 2025 betah bertengger di level atas Rp 16.100/US$.
Dilansir dari data Refinitiv, kurs rupiah pada perdagangan pagi ini saja telah diperdagangkan di level Rp 16.200/US$ per pukul 09.44 WIB.
Direktur Utama Dana Pensiun BI Iuran Pasti (DAPENBI IP), Nanang Hendarsah mengatakan kondisi itu dipicu oleh kekhawatiran pelaku pasar keuangan terhadap kondisi politik di Amerika Serikat.
"Tekanan terutama sejak September ini kita rasakan cukup berat. Dan ini membuat semua forecast di awal tahun ini semua meleset. Baik analis global atau domestik, semuanya meleset," ucap Nanang dalam program Money Talk CNBC Indonesia, Jumat (3/1/2024).
Nanang mengatakan, gejolak politik di AS yang dipicu oleh kebijakan presiden terpilih AS Donald Trump telah membuat imbal hasil atau yield obligasi AS, yaitu US Treasury Bond 10 tahun kembali naik dari 3,88% ke 4,53%.
Diikuti dengan indeks dolar AS, yaitu DXY yang pada akhir tahun lalu meroket dari level 101 ke 108,5.
Kondisi itu membuat yield obligasi SBN 10 tahun yang sebelumnya diperkirakan turun ke 6%, berpotensi melonjak sampai 6,4%, setelah pada akhir tahun lalu naik ke level 7%.
Lalu, IHSG yang di akhir 2023 lalu sekitar 7.270, pada 2024 ditutup ke leve 7.079, Sementara itu kurs Rupiah yang dari akhir 2023 itu di kisaran Rp 15.390, malah melonjak ke level Rp 16.100.
"Jadi memang turning point-nya adalah setelah Trump kembali terpilih menjadi Presiden. Ini sangat dipahami oleh kita karena market mulai mengantisipasi beberapa perubahan kebijakan di US," ungkap Nanang.
Nanang yang pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia periode 2018-2021 mengatakan, permasalahan di pasar keuangan ini dipicu oleh empat kebijakan Trump yang akan membuat perubahan yang signifikan terhadap kondisi ekonomi dunia.
Pertama adalah kebijakan perdagangan yang sangat restriktif. Trump akan menghantam banyak negara dengan pengenaan tarif perdagangan yang tinggi, bukan hanya China seperti saat ia menjabat sebagai Presiden AS pada 2018 sampai 2020.
Kemudian kedua adalah kebijakan fiskal yang longgar. Tentunya ini akan kembali mendorong motor ekonomi AS semakin panas.
Ketiga, ialah kebijakan terkait deregulasi di pertambangan yang sebetulnya bagus karena akan menurunkan harga minyak, namun bisa membuat ketidakpastian pada aktivitas ekonomi hijau.
Kebijakan keempat yaitu kebijakan imigrasi yang bisa membuat permasalahan di sektor ketenagakerjaan dan kestabilan politik global di kawasan.
"Dua kebijakan yaitu kebijakan tarif dan imigrasi ini yang harus diwaspadai karena akan menimbulkan volatilitas ke depan. Tarif yang nanti akan dihantam ke berbagai negara ada beresiko mengganggu supply chain. Global supply chain terutama dari China," ucap Nanang.
"Jadi global supply chain ini akan membuat inflasi di global mungkin tidak akan turun seperti yang kita harapkan. Itu sebetulnya efek keduanya," tegasnya.
Karena berbagai permasalahan itu, Nanang mengatakan, untuk investasi pada 2025 ini memang akan semakin kompleks.
"Kehati-hatian harus di double dibanding 2024. Karena kita akan menghadapi volatilitas yang menurut saya akan lebih tinggi dibanding 2024 di tahun ini dan ini Trump belum menjabat sebagai presiden. Nanti tanggal 20 Januari kita lihat bagaimana kira-kira akan memberikan arah kebijakan," paparnya.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Rupiah Terus Melemah, Pasar Waspadai Ini
Next Article Jelang Pengumuman Inflasi, Dolar Naik ke Rp15.460